Jakarta, Techfin Insight – Di tengah perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian geopolitik, perdebatan soal fundamental ekonomi Indonesia kembali mencuat.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kondisi ekonomi nasional masih tergolong kuat dan stabil, didukung oleh pasar domestik yang solid, diversifikasi sektor usaha, dan posisi fiskal yang relatif sehat.
Namun, di sisi lain, kajian akademik dari Universitas Indonesia justru mengungkap tren pelemahan yang terjadi secara perlahan dalam beberapa tahun terakhir.
Kemenkeu: Pasar Domestik dan Demografi Jadi Penopang Utama
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, menyebutkan bahwa populasi besar dan daya beli domestik menjadi penyangga utama ekonomi Indonesia.
Dalam wawancaranya dengan Bloomberg Technoz, Deni menyatakan bahwa ketergantungan terhadap ekspor yang rendah menjadikan perekonomian Indonesia relatif tahan terhadap guncangan eksternal.
“Konsumsi domestik sangat penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi kita,” ungkapnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat pernyataan tersebut. Pada kuartal I-2025, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 4,87% year-on-year (yoy).
Kontributor utamanya adalah konsumsi rumah tangga yang menyumbang 54,53% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di atas ekspor yang hanya 22,3%.
Diversifikasi Sektor dan Inflasi yang Terkendali
Menurut Deni, Indonesia juga terbantu oleh struktur ekonomi yang terdiversifikasi, terutama di sektor pertanian, perdagangan, jasa, dan industri pengolahan. Pada kuartal pertama 2025, lima sektor terbesar menunjukkan pertumbuhan positif, termasuk pertanian dan konstruksi.
Selain itu, inflasi Indonesia yang masih dalam kisaran sasaran dianggap sebagai indikator stabilitas makro.
Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat naik 1,95% yoy, tertinggi sejak Agustus 2024, namun masih dalam target 2,5% ±1% yang ditetapkan pemerintah.
Deni juga menyoroti posisi utang pemerintah yang masih terkendali, serta status kredit negara Indonesia yang masih berada di investment grade oleh Moody’s dengan peringkat Baa2 outlook stabil.
Sumber Daya Alam dan Optimisme Tenaga Kerja
Sumber daya alam juga dianggap sebagai kekuatan ekonomi Indonesia. Sektor pertanian tumbuh 10,52% yoy, menyumbang 12,66% terhadap PDB.
Walau sektor pertambangan masih mencatat kontraksi -1,23% yoy, kontribusinya tetap tinggi di angka 8,99%.
Lebih lanjut, Deni menambahkan bahwa perkembangan tenaga kerja menunjukkan sentimen usaha yang positif, dengan penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak pada kategori pekerja formal seperti karyawan dan pegawai tetap.
Akademisi: Fundamental Lemah, Deindustrialisasi Jadi Masalah Utama
Namun, kajian terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menunjukkan sisi lain dari cerita.
Mereka menilai bahwa fundamental ekonomi Indonesia sedang mengalami pelemahan struktural.
Meskipun tingkat kemiskinan turun ke 9%, kelompok rentan miskin naik menjadi 24,2%, dan kelas menengah menyusut ke 17,1%, kembali ke level 2017.
Ini menunjukkan bahwa mobilitas sosial stagnan, dan sebagian besar penduduk masih rentan terhadap tekanan ekonomi.
Masalah lain adalah tingginya dominasi sektor informal, yang mencapai 57,95% pada 2024. Artinya, sebagian besar pekerja belum memiliki perlindungan kerja dan jaminan sosial yang layak.
Sektor Manufaktur Menyusut, Produktivitas Menurun
Yang paling mengkhawatirkan adalah tren penyusutan sektor manufaktur atau deindustrialisasi.
Pada 2008, sektor ini menyumbang 27,81% terhadap PDB, tapi turun konsisten menjadi hanya 18,67% pada 2023.
“Proses deindustrialisasi telah melemahkan fundamental ekonomi Indonesia, menggeser struktur ekspor ke barang komoditas berisiko, dan mengurangi kapasitas penciptaan kerja formal,” ujar tim ekonom LPEM UI.
Sejalan dengan itu, produktivitas nasional juga mengalami penurunan karena peningkatan lapangan kerja di sektor-sektor bernilai tambah rendah.
ICOR yang Tinggi Tanda Inefisiensi Investasi
Indikator lain yang menjadi sorotan adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Rasio ini menunjukkan seberapa efisien investasi mengubah modal menjadi output ekonomi.
Rata-rata ICOR Indonesia mencapai 6,4 pada 2023, angka yang tinggi jika dibandingkan dengan era 2005-2009 yang hanya 4,3.
Semakin tinggi ICOR, semakin besar investasi yang dibutuhkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Menurut para ekonom, ini menandakan bahwa investasi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir belum cukup produktif.
Fundamental Kuat Tapi Belum Tangguh?
Pernyataan Kemenkeu tentang fundamental ekonomi Indonesia yang kuat memang memiliki dasar, terutama dari sisi konsumsi domestik dan stabilitas fiskal.
Namun, jika dilihat lebih dalam, berbagai indikator struktural menunjukkan tantangan besar yang perlu segera diatasi—dari ketimpangan kelas sosial, dominasi sektor informal, hingga deindustrialisasi dan rendahnya produktivitas.
Dengan kondisi seperti ini, pertanyaannya bukan sekadar apakah ekonomi Indonesia kuat, tapi apakah cukup tangguh menghadapi tekanan jangka panjang?
Komentari lewat Facebook