Techfin Insight — Di era digital, persona soft boy dan good girl semakin menjamur di lini masa media sosial.
Bukan hanya sebagai ekspresi diri, persona ini mulai dilihat sebagai strategi personal branding yang sengaja dibentuk untuk menciptakan citra, membangun koneksi emosional, bahkan meraih popularitas dan peluang komersial.
Tapi, benarkah ini sekadar gaya, atau ada strategi di balik tampilannya yang “apa adanya”?
Apa Itu Persona Soft Boy dan Good Girl?
Soft boy adalah istilah yang menggambarkan pria dengan citra sensitif, introspektif, dan lembut.
Mereka kerap tampil melankolis, menyukai puisi, musik indie, dan sering mengunggah konten bertema kesehatan mental, kejujuran emosional, atau cinta yang patah hati.
Di TikTok dan Instagram, persona ini terlihat dalam video pendek penuh kalimat puitis atau renungan dini hari yang relatable.
Sebaliknya, good girl merepresentasikan perempuan yang tampil anggun, sopan, penuh empati, dan menjunjung tinggi nilai-nilai “perempuan baik-baik”.
Konten mereka sering berisi rutinitas journaling, skincare, aktivitas produktif yang estetik, atau lifestyle yang tenang dan rapi.
Mereka mencerminkan sisi feminin yang lembut dan ‘tidak banyak drama’, yang oleh sebagian audiens dianggap menyegarkan.
Persona Media Sosial Sebagai Strategi Branding Diri
Meskipun terlihat alami, persona soft boy dan good girl ini bukanlah tanpa strategi.
Di tengah algoritma yang mendorong interaksi dan keterhubungan, persona yang penuh emosi dan kelembutan justru menciptakan kedekatan yang lebih intens dengan audiens.
“Konten dengan sisi personal yang jujur dan rentan sering kali memancing respons empatik. Follower merasa terhubung secara emosional, dan ini memperkuat loyalitas mereka,” ujar Tita Marlina, praktisi komunikasi digital ketika berbincang dengan Techfin.id.
Tak hanya mendatangkan engagement, persona ini juga membuka pintu monetisasi.
Banyak brand, khususnya produk skincare, fashion minimalis, journaling tools, hingga aplikasi self-development, lebih nyaman menggandeng influencer dengan image lembut dan aman.
Persona ini memberikan kesan bersih, terjaga, dan cocok dengan target pasar generasi Z yang semakin sadar akan nilai-nilai emosional dan estetika.
Antara Keaslian atau Strategi?
Namun di balik populernya persona ini, muncul juga pertanyaan: apakah mereka benar-benar seperti itu di kehidupan nyata?
Beberapa netizen mulai skeptis terhadap “soft boy palsu”—pria yang terlihat peka dan terbuka di media sosial, tapi ternyata manipulatif secara personal.
Hal serupa terjadi pada citra good girl yang kadang dinilai sebagai topeng sosial belaka.
“Kalau semua bagian hidupmu estetik dan tenang, itu bagus. Tapi jadi masalah kalau ternyata kamu menekan bagian lain dari dirimu hanya untuk terlihat ideal di mata orang lain,” ujar Aulia (23), seorang pengguna TikTok yang sempat membentuk persona good girl, namun akhirnya burnout.
Kejadian ini menunjukkan bahwa branding diri yang tidak dibangun atas kejujuran, justru dapat merusak kepercayaan publik.
Di era digital yang penuh jejak, audiens makin jeli membedakan persona dengan kenyataan.
Tekanan Sosial di Balik Persona Digital
Fakta menarik lainnya, persona ini kerap lahir dari tekanan sosial. Banyak perempuan merasa harus menjadi good girl agar tidak dibully atau dianggap ‘bermasalah’.
Begitu pula laki-laki yang memilih tampil sebagai soft boy karena takut dicap toxic atau terlalu dominan.
Dengan algoritma yang menyukai konten aman dan penuh empati, tak sedikit pengguna media sosial akhirnya merasa perlu membentuk persona tertentu agar tetap relevan, diterima, dan tidak dikucilkan.
Di sinilah dilema muncul. Apakah persona ini benar-benar representasi diri, atau justru bentuk kompromi terhadap ekspektasi sosial yang melelahkan?
Jadi Dirimu, Bukan Sekadar Persona
Persona soft boy dan good girl bukanlah sesuatu yang keliru. Bahkan bisa menjadi refleksi dari nilai-nilai positif seperti kepekaan, empati, dan self-awareness.
Namun, akan lebih sehat jika persona ini lahir dari kejujuran diri, bukan tekanan luar.
Karena pada akhirnya, strategi personal branding yang efektif bukanlah tentang tampil sempurna, tapi konsisten dan autentik.
Dalam dunia digital yang cepat berubah dan penuh tuntutan, yang paling lama bertahan bukan yang paling estetis—melainkan yang paling jujur dan utuh.
Komentari lewat Facebook