Techfin Insight – Di era digital, budaya bukan lagi milik museum atau pertunjukan live. Hari ini, kamu bisa menonton tari tradisional lewat YouTube, menghadiri pameran lukisan virtual, bahkan belajar membatik lewat TikTok.
Tapi, apakah ini membuat budaya makin lestari atau justru kehilangan maknanya?
Artikel ini mengajak kamu menelusuri bagaimana teknologi digital—terutama internet dan media sosial—telah mengubah cara kita berinteraksi dengan budaya.
Budaya Tak Lagi Butuh Panggung Fisik
Sebelum ada internet, kamu harus hadir langsung untuk menikmati pentas wayang, tari daerah, atau pameran seni.
Kini, cukup dengan ponsel, kamu bisa menyaksikan pertunjukan tersebut dari rumah. Pementasan digital membuka akses lebih luas ke warisan budaya.
Namun, ada kekhawatiran juga: apakah melihat pertunjukan lewat layar tetap memiliki rasa yang sama dengan mengalaminya langsung?
TikTok dan Instagram: Arena Baru Kreativitas Tradisional
Siapa sangka konten tutorial menari jaipong atau video kompilasi gamelan bisa viral?
Kreator muda dari berbagai daerah kini menggunakan platform digital untuk memperkenalkan budaya mereka ke dunia, tanpa harus menunggu diundang ke festival seni nasional.
Digitalisasi memberi kebebasan, tapi juga tantangan dalam menjaga otentisitas dan konteks budaya yang ditampilkan.
NFT, AI, dan Seni Digital
Seniman kini tidak hanya melukis di atas kanvas, tapi juga menciptakan karya melalui AI atau menjual hasil karyanya sebagai NFT.
Ini membuka model baru dalam ekonomi kreatif, namun memunculkan pertanyaan baru: apakah seni digital ini setara secara nilai budaya?
Misalnya, lukisan batik digital yang laku di marketplace NFT—apakah ia punya makna budaya yang sama seperti batik tulis hasil karya tangan?
Tradisi Lisan dalam Bentuk Podcast dan Video
Cerita rakyat, petuah nenek moyang, dan kisah legenda kini banyak direkam dan disebarkan lewat YouTube, Spotify, atau TikTok.
Ini memberi umur panjang pada tradisi lisan, tapi mengubah cara penyampaiannya. Dulu ada interaksi langsung, sekarang diganti dengan format konsumsi satu arah.
Digitalisasi Itu Pisau Bermata Dua
Internet membuat budaya bisa lebih hidup, dikenal luas, dan lebih inklusif. Tapi ia juga membawa risiko komodifikasi, banalitas, dan hilangnya makna konteks.
Kuncinya bukan menolak digitalisasi, tapi mendidik masyarakat digital untuk tetap menghargai esensi budaya, bahkan ketika menikmatinya lewat layar.
Komentari lewat Facebook