Techfin.id — Dalam dunia desain modern, pembicaraan seringkali berputar seputar tools terbaru: Adobe Illustrator, Figma, Photoshop, hingga AI-based tools seperti Midjourney atau Canva Magic.
Namun, Setiawan Chogah—freelancer yang sudah melayani klien dari Hong Kong hingga Amerika—punya pandangan berbeda.
“Klien nggak peduli kamu pakai aplikasi apa. Yang mereka peduli adalah: bisa enggak kamu bantu selesaikan masalah mereka?” tuturnya dalam sebuah podcast bersama channel YouTube OTCA.
Pernyataan ini sederhana tapi menggetarkan. Karena dalam praktiknya, banyak orang terjebak belajar tools demi terlihat keren, bukan demi menyelesaikan masalah nyata.
Pengalaman Nyata: Desain di Bandara, Klien Tetap Puas
Setiawan pernah mengalami momen genting: ia harus membuat desain ucapan Waisak untuk klien Hong Kong saat sedang menunggu boarding pesawat.
Tanpa laptop desain, tanpa aplikasi premium. Hanya bermodal iPad dan PowerPoint.
Dan hasilnya? Klien tetap puas. Bukan karena tampilannya paling wah, tapi karena desain itu tepat waktu, sesuai tone, dan menjawab kebutuhan komunikasi klien.
Pengalaman itu memperkuat keyakinannya: desain bukan soal alat, tapi soal empati dan presisi.
Bagaimana kamu membaca brief, memahami audiens, lalu meramu pesan dalam bentuk visual.
Clean But Personal
Salah satu klien luar negeri bahkan menyebut desain Setiawan sebagai “clean but personal.” Artinya, bukan desain kompleks dengan efek-efek visual mencolok, tapi desain yang terasa dekat dan mudah diterima.
Alih-alih fokus membuat karya yang “wah”, Setiawan justru fokus pada satu pertanyaan penting:
“Apa yang paling dibutuhkan klien saya hari ini?”
Dengan fokus itu, setiap desain menjadi solusi. Ia tidak sekadar mendesain poster atau feed Instagram, tapi ikut memikirkan pesan, konteks, dan bahkan strategi komunikasi klien.
Tools Bisa Diganti, Empati Tidak
Tools bisa berubah. Bahkan dalam waktu 5 tahun, landscape software desain sudah berubah berkali-kali.
Tapi satu hal yang tidak berubah adalah kemampuan membaca kebutuhan manusia.
“Kalau kamu jago di tools tapi nggak ngerti brief klien, ya tetap salah arah. Tapi kalau kamu ngerti klien, kamu bisa adaptasi pakai tools apapun,” jelas Setiawan.
Makanya, dia memilih menyederhanakan langganan tools. Dia tak lagi berlangganan banyak software premium setiap bulan.
Ia hanya langganan sesuai kebutuhan dan proyek. Ini bukan soal penghematan semata, tapi pengelolaan sumber daya yang cerdas.
Filosofi Desain yang Menghidupi
Bagi Setiawan, desain bukan hanya soal menghasilkan uang. Tapi soal bagaimana karya kita ikut menciptakan nilai dan ketenangan dalam hidup.
Karena itu, ia menolak proyek-proyek yang tidak sesuai dengan prinsip dan kapasitas dirinya.
Ia lebih memilih beberapa klien yang cocok secara visi, ketimbang mengejar angka semata.
“Saya ingin desain yang saya buat itu jujur, punya niat baik, dan menghidupi saya. Bukan hanya dalam arti finansial, tapi juga batin,” ujarnya.
Jadi Desainer yang Dimanusiakan
Di akhir wawancaranya, Setiawan menyampaikan bahwa salah satu bentuk tertinggi dari desain adalah ketika kita dimanusiakan oleh klien.
Dihargai bukan hanya karena skill, tapi juga karena sikap dan ketulusan.
Desain seperti itu hanya bisa hadir kalau kita:
- Mampu berkomunikasi dengan jujur,
- Tidak sok tahu, tapi mau belajar,
- Bisa menjelaskan pilihan desain secara rasional,
- Dan hadir sebagai manusia, bukan hanya eksekutor.
Saksikan Cerita Lengkapnya di YouTube OTCA
Kisah Setiawan Chogah tentang filosofi desain, empati terhadap klien, dan cara bertahan sebagai freelancer global bisa kamu tonton lengkap di YouTube Channel OTCA (Overseas Training & Career Academy)—kanal yang berisi wawasan karier, studi, dan cerita inspiratif dari pelaku industri nyata.
Saksikan podcastnya di sini: Kerja Freelance dari Rumah, Dibayar Klien Amerika – Cerita Setiawan Chogah