Techfin Insight – “Marketing itu mahal, dan hasilnya enggak langsung kelihatan.” Kalimat itu sering kita dengar, bahkan dari orang-orang di level manajemen sekalipun.
Di tengah tekanan bisnis dan kondisi ekonomi yang fluktuatif, marketing budget sering jadi korban pertama pemotongan budget.
Alasannya? Karena dianggap pemborosan, tidak langsung menghasilkan penjualan.
Padahal, jika kita melihat perusahaan-perusahaan besar dan merek yang kita kenal hari ini — dari Gojek, Tokopedia, hingga Apple dan Nike — semua memiliki satu kesamaan: mereka berani spending besar untuk marketing.
Jadi, apakah marketing memang mahal dan tidak efisien, atau justru kita yang salah dalam melihat peran strategisnya?
Data Bicara: Marketing Mendorong Pertumbuhan Bisnis
Sebuah laporan dari Deloitte (CMO Survey 2023) menunjukkan bahwa:
- Rata-rata perusahaan mengalokasikan 9,1% dari total pendapatan untuk marketing.
- Perusahaan dengan pertumbuhan tinggi justru mengalokasikan lebih dari 11% dari revenue mereka untuk marketing.
Di Indonesia, riset oleh DSInnovate (2023) menemukan bahwa brand lokal yang mengalokasikan lebih dari 10% budget ke marketing mengalami pertumbuhan awareness dan customer acquisition yang lebih cepat 1,6x dibanding brand dengan budget terbatas.
Fakta lainnya, menurut laporan dari Nielsen menyebutkan bahwa 63% konsumen membeli produk karena mereka mengenal brand-nya, bukan karena harga atau fitur.
Artinya, brand awareness dan brand trust menjadi alasan utama konsumen memilih. Dan satu-satunya cara membangun awareness adalah lewat aktivitas marketing yang konsisten.
Marketing = Proses, Bukan Transaksi Instan
Salah satu miskonsepsi terbesar yang sering terjadi di perusahaan — baik startup maupun korporasi — adalah mengharapkan hasil instan dari campaign marketing.
Tapi Gen Z, sebagai generasi digital native, justru paling paham bahwa membangun perhatian publik itu butuh konsistensi dan relevansi, bukan hanya satu kali viral.

Menurut HubSpot (2024), rata-rata calon customer membutuhkan 8–10 kali kontak atau exposure sebelum mereka mengambil keputusan untuk membeli.
Bayangkan jika brand kamu hanya muncul satu kali dalam sebulan — tentu akan kalah dari brand yang muncul setiap hari lewat konten, ads, atau kolaborasi.
Marketing Budget Itu Investasi, Bukan Beban
Mari ubah cara pandang kita! Alih-alih melihat budget marketing sebagai pengeluaran (cost center), kita harus melihatnya sebagai investasi yang mendorong pertumbuhan bisnis.
Contohnya:
- Instagram Ads yang dioptimalkan bisa menghasilkan ROAS (Return on Ad Spend) hingga 5x lipat jika ditargetkan dengan benar.
- Influencer marketing saat ini punya ROI 11x lebih tinggi dibanding metode pemasaran tradisional, menurut Influencer Marketing Hub Report 2024.
Bahkan, kampanye Tokopedia x BTS mungkin terlihat sangat mahal di awal, tapi hasilnya?
- Peningkatan unduhan aplikasi hingga 2x lipat (Statista, 2022).
- Kenaikan pencarian kata “Tokopedia” di Google sampai 160% selama periode kampanye.
Masalah Sebenarnya: Bukan di Budget, tapi di Strategi dan Evaluasi
Banyak anggapan marketing itu “mubazir” muncul karena kurangnya data dan sistem evaluasi.
Padahal sekarang, dengan tools seperti Google Analytics, Meta Ads Manager, hingga sistem CRM, kita bisa melacak performa marketing secara real-time.
Artinya:
- Kita bisa tahu iklan mana yang menghasilkan penjualan.
- Kita bisa ukur konten mana yang meningkatkan engagement.
- Kita bisa retarget orang yang sudah pernah berinteraksi.
Bahkan dengan budget kecil, jika strateginya tepat dan dikawal dengan data, hasilnya bisa lebih efisien dari kampanye besar yang tanpa arah.

Tips untuk Gen Z yang Masuk Dunia Marketing atau Startup Founder
- Mulailah dari Customer, Bukan Produk.
Jangan asumsikan semua orang butuh produkmu. Temukan masalah mereka dulu, baru bangun strategi marketing. - Optimalkan, Bukan Asal Viralin.
Campaign viral tanpa arah tidak berkelanjutan. Fokus pada conversion dan retention. - Gunakan Data untuk Keputusan.
Jangan hanya andalkan “feeling”. Gunakan tools digital yang gratis (Google Trends, Meta Ads Library, Ubersuggest, dll). - Build Brand Personality.
Konsumen Gen Z suka brand yang punya suara, bukan sekadar jualan. Bangun koneksi emosional lewat storytelling dan konsistensi komunikasi.
Marketing adalah Napas Panjang Sebuah Brand
Sebuah perusahaan tanpa marketing ibarat produk bagus yang disimpan di gudang gelap. Tidak akan ada yang tahu, tidak ada yang beli.
Marketing bukan cuma tentang iklan, tapi tentang membangun reputasi, eksistensi, dan diferensiasi.
Ini semua adalah elemen penting jika Anda ingin brand Anda bertahan, bukan hanya muncul lalu menghilang.
Di era digital, saat perhatian konsumen terbagi ke ratusan arah, marketing bukan lagi pilihan — tapi kebutuhan.
Komentari lewat Facebook