Techfin Insight — Hampir lima dekade setelah dirilis, film Max Havelaar (1976) kembali mencuat ke permukaan. Bukan karena ulang tahunnya, bukan pula karena restorasi sinematik.
Tapi karena dua nama yang nyaris hilang dari sejarah film Indonesia: Saidjah dan Adinda — sepasang karakter ikonik yang diperankan anak-anak lokal Banten, kini tengah dicari oleh seorang sutradara asal Belanda.
Pencarian ini lebih dari sekadar nostalgia. Ia adalah panggilan memori, upaya mengembalikan potongan penting dalam sejarah visual perjuangan anti-kolonial di tanah kita.

Film yang Membongkar Luka Kolonial
Bagi sebagian generasi, Max Havelaar hanyalah judul yang samar di buku pelajaran. Tapi bagi sejarah perfilman dunia, ia adalah pukulan telak terhadap wajah kolonialisme Belanda di Hindia Timur.
Film yang disutradarai oleh Fons Rademakers ini diadaptasi dari novel karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker), seorang mantan pejabat kolonial yang membelot karena tak tahan melihat penderitaan rakyat Lebak, Banten.
Film ini memperlihatkan bagaimana sistem tanam paksa menghancurkan hidup rakyat jelata, terutama melalui kisah tragis Saidjah dan Adinda — sepasang kekasih muda dari desa Lebak yang terpisah oleh kesewenang-wenangan aparat kolonial.
Ketika film ini akhirnya bisa diputar di Indonesia tahun 1987, lebih dari 10 tahun setelah rilis internasionalnya, sambutan publik sangat emosional.
Namun satu hal tetap kabur: siapa anak-anak asli Indonesia yang memerankan Saidjah dan Adinda?

Misteri Dua Anak dalam Sejarah Sinema
Sutradara dokumenter asal Belanda, Arjan Onderdenwijngaard, kini sedang membuat dokumenter baru tentang dampak dan warisan film Max Havelaar.
Tapi satu bagian terasa kurang: ia tidak bisa menemukan jejak pemeran utama — pemeran Saidjah dan Adinda, yang wajah dan gesturnya menjadi simbol penderitaan rakyat dalam film tersebut.
Arjan sedang mencari orang yang pernah memerankan tokoh Saidjah dan Adinda di film itu, yaitu Herry Lantho sebagai Saidja dewasa dan Nenny Zulaini sebagai Adinda dewasa, serta dua anak yang memeran Saidjah dan Adinda kecil. Nama mereka tidak dikenal.
“Saya ingin sekali tahu siapa mereka. Mungkin mereka tinggal di Banten, mungkin juga sudah pindah. Tapi saya percaya kisah mereka layak didengar kembali,” tulis Arjan dalam surel pencarian yang beredar di komunitas film Indonesia.
Lebih dari sekadar mencari nama, ini adalah usaha merekonstruksi sejarah yang sempat terputus. Mungkin, mereka hanya dianggap ‘pemeran tambahan’.
Tapi nyatanya, visual mereka telah menggetarkan festival film dunia — dan membentuk kesadaran generasi baru tentang realitas kolonialisme.
Mengapa Ini Penting untuk Kita?
Pencarian terhadap dua sosok anak ini bukan semata urusan sinematik. Ini adalah refleksi tentang bagaimana orang-orang kecil seringkali terlupakan dari narasi besar sejarah — bahkan ketika mereka menjadi bagian penting dari karya monumental.
Film Max Havelaar adalah warisan sejarah, dan warisan itu tidak lengkap tanpa mereka yang menghidupkannya di layar.

Di tengah gelombang digitalisasi dan arsip budaya, pencarian seperti ini menjadi cara kita merajut kembali jalinan sejarah yang robek oleh waktu.
Jika kita tidak bergerak hari ini, bisa jadi kisah mereka benar-benar menghilang. Tak tercatat, tak terdengar, tak dikenang.
Jika Kamu Punya Petunjuk, Ceritakanlah
Apakah kamu, keluargamu, atau temanmu pernah terlibat sebagai figuran, kru, atau bahkan mengenal sosok anak-anak yang bermain dalam film Max Havelaar?
Mungkin kamu ingat proses syutingnya di Banten pada pertengahan 1970-an, atau menyimpan potret tua yang tak sempat dipublikasikan.

Sekecil apa pun, jejak itu bisa menjadi kunci dalam menemukan kembali sejarah yang nyaris hilang ini.
Arjan berharap bisa menyelesaikan dokumenter ini dengan menampilkan suara-suara dari Indonesia — bukan hanya lewat arsip, tapi juga cerita lisan, foto keluarga, dan ingatan kolektif
Jika Saidjah dan Adinda pernah menjadi simbol luka kolonial, maka pencarian ini adalah simbol harapan — bahwa setiap orang, sekecil apa pun perannya, layak ditemukan kembali dalam sejarah.
Kamu punya cerita atau petunjuk? Bisa kirim informasi ke email: arjanodw@gmail.com.
Komentari lewat Facebook