Techfin Insight – Musim ketiga Squid Game menutup cerita dengan cara yang tidak hanya tragis, tetapi juga menyentuh dan menyisakan renungan dalam.
Gi-Hun, tokoh utama yang telah melalui tiga musim penuh kekerasan, pengkhianatan, dan kehilangan, akhirnya gugur. Tapi ia tidak kalah.
Justru pada saat-saat terakhirnya, Gi-Hun menyampaikan satu pesan yang menjadi inti dari seluruh serial ini: “Kami bukan kuda. Kami manusia.”
Ucapan itu terdengar lirih sebelum ia mengakhiri hidupnya sendiri, menyerahkan kemenangan pada bayi peserta nomor 222.
Dalam sistem permainan yang diciptakan untuk menghapus rasa empati, keputusan Gi-Hun menjadi bentuk perlawanan terakhir—perlawanan yang tidak membawa uang, tapi menyelamatkan nilai-nilai yang hilang.
Gi-Hun: Dari Bertahan Hidup Menuju Kesadaran Penuh
Sejak awal, Gi-Hun digambarkan sebagai tokoh yang rapuh namun tetap menyisakan sisi manusiawi.
Ia adalah ayah yang gagal, pria yang tenggelam dalam utang, dan seseorang yang terpaksa mengikuti permainan demi menyambung hidup.
Tapi seiring berjalannya musim, terutama di Season 3, ia bukan lagi hanya seorang pemain.
Ia menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang menjadikan penderitaan manusia sebagai tontonan dan komoditas.
Ketika tersisa hanya dua peserta—Gi-Hun dan bayi yang baru lahir dari peserta lain—ia memilih mengorbankan dirinya demi memastikan harapan tetap hidup.
Bayi itu, tidak berdosa, tidak membawa sejarah kejahatan atau ambisi, menjadi satu-satunya simbol kemurnian dalam sistem yang rusak.
Dan Gi-Hun, dengan kesadarannya yang penuh, memberikan kemenangan pada kehidupan, bukan pada permainan.
Jang Geum-Ja dan Pilihan Tragis yang Bermakna
Salah satu tokoh yang mencuri perhatian di Season 3 adalah Jang Geum-Ja, Pemain 149.
Seorang ibu tua yang mengikuti permainan bukan untuk mencari kekayaan, tapi untuk menyelamatkan keluarganya dari lilitan utang.
Pada titik genting, ia mengambil keputusan ekstrem—membunuh anak kandungnya sendiri demi menyelamatkan bayi yang kelak jadi peserta terakhir.
Tindakan itu tidak bisa dimaknai secara hitam-putih, namun memperlihatkan bahwa dalam dunia yang memaksa pilihan mustahil, cinta dan pengorbanan bisa muncul dalam bentuk paling menyakitkan.
Kang Sae-Byeok: Suara Hati yang Tak Pernah Mati
Saat Gi-Hun sempat nyaris terjatuh dalam keputusasaan, muncul bayangan Kang Sae-Byeok, rekannya di musim pertama.
Suaranya lirih, tapi cukup kuat untuk menghentikan Gi-Hun dari membunuh sesama pemain. “Don’t do that. That’s not you. You’re a kind person,” kata Sae-Byeok.

Momen ini bukan hanya nostalgia emosional, tapi juga penanda bahwa meskipun seseorang berubah karena tekanan dan luka, suara hati tidak pernah benar-benar hilang. Kadang, hanya tertutup oleh bisingnya dunia.
Front Man: Tidak Semua Penjaga Sistem Kehilangan Nurani
Salah satu kejutan paling menyentuh di akhir musim ini adalah sisi manusia dari Front Man. Sosok yang selama ini tampil dingin dan keras ternyata menyimpan luka dan empati.
Setelah Gi-Hun gugur, Front Man tidak hanya menyaksikan jenazahnya dengan air mata berlinang, tetapi juga melakukan tindakan yang mengubah persepsi kita tentangnya.
Ia menyelamatkan seluruh uang milik Gi-Hun, lalu pergi ke Amerika untuk menemui putri Gi-Hun secara diam-diam dan menyerahkan akses keuangan tersebut.
Dalam keheningan, ia menjadi jembatan terakhir dari kemanusiaan yang tersisa. Ia menunjukkan bahwa bahkan mereka yang menjalankan sistem tidak selalu kehilangan nurani.
Beberapa hanya terjebak dalam peran yang tidak mereka pilih.
Squid Game adalah Tentang Kita Semua
Squid Game, sejak musim pertama hingga terakhir, terus bertanya hal yang sama: seberapa jauh seseorang rela mengorbankan prinsip demi bertahan hidup?
Tapi di musim ketiga, pertanyaannya berubah: seberapa besar seseorang bisa bertahan sebagai manusia di tengah sistem yang ingin menjadikannya alat?
Tidak semua yang mengikuti permainan adalah orang jahat.
Banyak di antara mereka hanyalah orang-orang yang kehabisan pilihan, yang dikejar utang, yang ingin memberi makan anaknya, yang lelah menghadapi dunia nyata yang tak memberi ruang untuk gagal.
Dan dari sinilah pesan serial ini terasa begitu dekat dengan kita.

Refleksi untuk Kita di Dunia Nyata
Di luar layar, banyak dari kita hidup dalam permainan yang berbeda tapi terasa serupa. Kita mengejar proyek demi proyek, menunda makan, memaksakan tubuh untuk terus bekerja, dan terus menekan rasa lelah hanya demi merasa “selamat.”
Tapi seperti Gi-Hun, kita bisa berhenti. Kita bisa memilih untuk tetap menjadi manusia. Bahkan jika itu berarti kalah menurut standar dunia, kita tetap menang menurut nurani.
Jika hari ini tubuh mulai memberi tanda, jika hati mulai terasa kosong, mungkin sudah saatnya untuk bertanya:
Apakah kita masih mengejar hidup, atau sedang dikendalikan oleh sistem yang tak pernah kita setujui?
Komentari lewat Facebook