Techfin Insight — Belum tayang, sudah dihujat. Film The Fantastic Four yang dijadwalkan rilis pada Juli 2025 menjadi sasaran kritik tajam netizen setelah munculnya sosok Silver Surfer versi perempuan dalam materi promosi awal.
Komentar sinis, meme satir, hingga tuduhan “merusak lore” langsung membanjiri media sosial.
Padahal, jika sedikit saja melihat ke belakang—tepatnya ke era 1960-an—karakter Shalla-Bal, Silver Surfer perempuan, sudah lebih dulu eksis di jagat komik Marvel.
Ia bukan sekadar “versi cewek” dari tokoh pria, tapi tokoh dengan cerita sendiri: kekasih Norrin Radd (Silver Surfer asli), yang sempat menerima kekuatan kosmik dan menjelajah alam semesta sebagai penyelamat Galactus.
Tapi tentu, fakta semacam ini tak selalu populer di linimasa komentar.
Ketika Fans Merasa Memiliki Cerita
Fenomena seperti ini bukan baru. Fans hari ini tak hanya penonton pasif; mereka menginvestasikan emosi, waktu, bahkan identitas ke dalam karakter favoritnya.
Dari Tony Stark hingga Gi-hun, dari Peter Parker versi Tobey hingga Tom Holland, para penonton tumbuh bersama pahlawan-pahlawan fiksi itu.
Namun, ketika cerita berkembang ke arah yang berbeda—baik karena kebutuhan narasi, keinginan kreator, atau strategi studio—reaksi keras pun muncul. Tidak sedikit yang merasa “dikhianati”.
Mungkin kita tidak sedang kehilangan kualitas cerita, tapi sedang kesulitan menerima bahwa pahlawan kita bisa berganti wajah.
Hujatan Tanpa Literasi
Yang ironis, sebagian besar suara sumbang itu datang dari mereka yang tidak benar-benar akrab dengan sumber aslinya.
Banyak yang hanya mengikuti versi film tanpa tahu kompleksitas komik Marvel yang sudah rilis sejak dekade 1960-an, lengkap dengan multiverse, perubahan gender, hingga berbagai timeline alternatif.
Hal yang sama terjadi pada IronHeart, yang belum rilis namun sudah dihujat karena dianggap “pengganti murahan” Iron Man.
Padahal, Riri Williams dalam versi komik adalah cerminan karakter muda dengan kecerdasan luar biasa, yang mencoba merancang hidupnya sendiri setelah kehilangan ayah dan mentornya.
Begitu juga Squid Game musim ketiga. Ending-nya dikecam keras oleh penonton karena tokoh utamanya meninggal.

Bahkan sebagian penonton membandingkan serial ini dengan Alice in Borderland, seolah dua karya ini berdiri di platform yang sama dan harus sejalan.
Padahal, sumber adaptasinya saja berbeda—Squid Game adalah karya orisinal Hwang Dong-hyuk, sementara Alice in Borderland diadaptasi dari manga karya Haro Aso.
Komentar yang Jadi Komoditas
Di era digital, komentar negatif menjadi mata uang sosial. Mengolok-olok karya populer sebelum rilis memberi sensasi “jadi yang paling tahu”.
Algoritma platform seperti X, Reddit, atau YouTube bahkan mendukung komentar ekstrem agar menjangkau lebih banyak pengguna.
Akhirnya, budaya kritik sehat pun tertutup oleh serbuan reaksi impulsif.
Siklusnya mirip: trailer rilis → karakter tak sesuai ekspektasi → hujatan viral → pemecahan kubu “pro vs kontra” → karya belum rilis, tapi sudah diadili.
Ketika Kreator Bicara tentang Toxic Fandom “Penonton Paling Berisik”
Fenomena ini bukan hanya dirasakan penonton—para kreator juga mulai angkat bicara.
Rian Johnson, sutradara Star Wars: The Last Jedi, pernah berkata dalam wawancara dengan GQ bahwa “kritik keras datang dari minoritas kecil tapi sangat vokal.” Ia menyebutnya sebagai “toxic noise disguised as feedback.”

Sementara itu, sebuah studi oleh Harvard Kennedy School (2023) menyebut bahwa 68% reaksi negatif ekstrem terhadap film atau serial tidak berasal dari komunitas penggemar utama, tapi dari “casual viewers” yang sekadar ikut tren.
Artinya: yang paling gaduh belum tentu yang paling paham. Tapi karena algoritma memihak kegaduhan, suara mereka sering kali terdengar paling keras.
Netflix sendiri sempat mengeluarkan pernyataan pasca-ramainya kritik terhadap One Piece live action dan Squid Game musim ketiga, bahwa “tidak semua cerita dibuat untuk semua orang, dan itu hal yang sehat dalam sebuah ekosistem kreatif.”
Mungkin Kita Perlu Belajar dari Stoikisme
Filsafat Stoik mengajarkan satu prinsip sederhana tapi kuat: fokus pada hal yang bisa kita kendalikan.
Kita tidak bisa mengatur arah cerita, keputusan kreator, atau siapa yang memerankan pahlawan favorit kita. Tapi kita bisa mengatur cara kita merespons.
You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength.
Marcus Aurelius
Daripada sibuk memaksa semesta fiksi agar tunduk pada selera pribadi, mungkin kita bisa memilih untuk menikmati cerita baru—atau kalau tidak cocok, berjalan ke cerita lain tanpa harus merusak pengalaman orang lain.
Dan jika kamu memang tidak suka jalan cerita, pemilihan aktor, atau perkembangan karakter, ya mungkin… karya itu memang tidak dibuat untukmu.
Itu bukan kesalahan karya. Bukan pula alasan untuk berisik dan menyebar kebencian.
Akhirnya, Ini Hanya Cerita—dan Cerita Tak Pernah Benar-benar Mati
Cerita terus bergulir, berganti, dan menemukan bentuk-bentuk baru. Entah Shalla-Bal akan memikat hati kita atau tidak, entah IronHeart nanti sukses atau gagal, satu hal yang pasti: cerita-cerita ini akan terus hidup, sejauh kita memberi ruang untuk tumbuh.
Dan siapa tahu, tokoh yang kita tolak hari ini, justru jadi legenda di masa depan.
🟨 Punya cerita atau opini soal fandom digital, budaya kritik, atau dunia pop culture? Kirimkan tulisanmu ke redaksi Techfin Insight dan biarkan idemu bersuara.
Komentari lewat Facebook