Techfin.id — Bekerja keras, terus menerima proyek, mengejar ekspektasi sosial—semua terdengar produktif. Tapi apa jadinya jika semua itu justru membuat kita kehilangan arah?
Setiawan Chogah, freelancer Indonesia yang kini bekerja dengan klien dari Amerika dan Hong Kong, pernah mengalami fase itu.
“Aku sempat burnout. Ngerasa capek bukan karena kerjaannya berat, tapi karena lupa ke mana arah hidup ini sebenarnya,” tuturnya dalam sebuah podcast bersama channel YouTube OTCA.
Sibuk Tapi Nyasar
Burnout, menurut Setiawan, bukan hanya tentang fisik yang lelah. Tapi juga jiwa yang kehilangan makna.
“Kelelahan kamu itu bukan karena beban, tapi bagian dari perjalanan menuju tujuan. Masalahnya, banyak orang capek karena enggak tahu tujuannya.”
Ia mengibaratkan hidup seperti GPS. “GPS bisa tunjukin kamu di mana. Tapi kalau kamu enggak tahu titik tujuan, GPS enggak bisa bantu keluar dari tempatmu sekarang.”
Banyak dari kita terlihat sibuk, tapi sebenarnya hanya seperti kincir yang berputar karena angin, tanpa arah jelas.
Kita ikut tren, ikut ekspektasi orang tua, ikut standar media sosial—tapi lupa bertanya ke diri sendiri: apa yang sebenarnya aku mau?
Burnout Adalah Alarm
Setiawan mengajak kita melihat burnout bukan sebagai musuh, tapi sinyal alami untuk berhenti sejenak.
Sama seperti alarm, burnout muncul agar kita sadar bahwa ada sesuatu yang tidak selaras.
Lalu, apa yang ia lakukan saat merasa burnout?
Saya menepi. Saya berhenti sejenak. Saya tanya diri sendiri: masih selaras enggak arah hidup ini dengan tujuan saya?
Setiawan Chogah
Langkah sederhana seperti jurnaling, melihat diri di cermin sebelum keluar rumah, dan menata ulang rutinitas harian menjadi ritual pentingnya.
“Pagi-pagi saya tanya ke diri sendiri, sudah pantas belum saya keluar dan bertemu orang lain hari ini?”
Hidup Tenang, Bukan Sibuk Terus
Setelah menepi, Setiawan menyadari bahwa ketenangan lebih penting daripada kemegahan. Ia memilih untuk membatasi kliennya, tidak lagi mengambil semua proyek yang datang.
Kini ia hanya bekerja 3-5 jam per hari, sisanya digunakan untuk merawat kebun kecil di rumah, membaca, dan menulis jurnal.
“Saya enggak mau lagi mengejar angka. Saya mau hidup cukup dan sadar. Enggak perlu punya mobil, saya lebih suka naik transportasi umum sambil baca atau revisi desain.”
Konsep manajemen cukup inilah yang menjadi filosofi hidupnya hari ini. Ia tidak lagi hidup dengan standar orang lain, melainkan dengan kesadaran akan apa yang benar-benar ia butuhkan.
Spirit Slow Living, Bukan Malas
Pilihan hidup lambat bukan berarti tidak produktif. Justru dengan menata ulang arah dan menyederhanakan tujuan, Setiawan merasa lebih produktif secara batin dan karya.

“Dulu saya pikir sukses itu banyak klien, banyak uang. Tapi ternyata, sukses itu kalau saya bisa bangun subuh, ngopi sambil bersyukur, dan bekerja dengan hati yang tenang,” katanya.
Jangan Menjadi Duri dalam Daging
Satu pesan yang paling kuat dari Setiawan adalah: jangan terus bertahan di tempat yang tidak kamu cintai.
Jika pekerjaan atau lingkunganmu sudah tidak selaras dengan nilai hidupmu, lebih baik jujur dan cari alternatif.
“Jangan jadi duri dalam daging. Jangan meludah di sumur tempat kamu minum. Kalau memang sudah tidak cocok, jangan jelek-jelekin, tapi pamit dengan baik.”
Burnout, bagi Setiawan, bukan tanda untuk menyerah. Tapi tanda untuk menyusun ulang strategi.
Menepi bukan berarti kalah—justru itu langkah bijak untuk bisa melaju lebih tenang dan berkelanjutan.
Saksikan Cerita Lengkapnya di YouTube OTCA
Kamu bisa menyimak kisah reflektif Setiawan Chogah tentang burnout, ketenangan, dan menata ulang tujuan hidup di YouTube Channel OTCA (Overseas Training & Career Academy).
Kanal ini menyajikan kisah nyata perjuangan karier dan hidup dari berbagai perspektif inspiratif.
Saksikan podcast lengkapnya di sini: Kerja Freelance dari Rumah, Dibayar Klien Amerika – Cerita Setiawan Chogah