Teluk Kuantan, Techfin Insight — Fenomena “aura farming” yang meledak di TikTok berkat tarian bocah Pacu Jalur telah membuka pintu baru bagi cara kita memandang budaya, ekspresi anak muda, dan viralitas.
Istilah yang sebelumnya hanya dikenal di lingkup gaming dan fandom kini bertransformasi menjadi bentuk baru ekspresi kultural.
Tapi bagaimana bisa gerakan seorang anak di ujung perahu di Kuantan Singingi menginspirasi tren global hingga ditiru oleh atlet dunia dan raksasa industri hiburan?
Dari Sungai ke Layar Dunia
Aura farming pertama kali muncul sebagai istilah di komunitas gamer untuk menggambarkan aksi menciptakan “citra” atau karisma yang bisa memikat atau memengaruhi orang lain dalam permainan.
Namun maknanya kini meluas, dan digunakan Gen Z dan Gen Alpha untuk merujuk pada gerakan penuh percaya diri yang menggugah kekaguman.
Dalam konteks Pacu Jalur, anak kecil yang berdiri di ujung perahu sambil menari itu tak lagi hanya penambah semangat tim.
bros job is to aura farm😭 pic.twitter.com/8Kftg7mHDC
— kira 👾 (@kirawontmiss) June 30, 2025
Gerakannya, ekspresi wajahnya, bahkan gaya berpakaiannya menciptakan aura unik yang seolah membius penonton.
Klip gerakannya tersebar dengan kecepatan luar biasa, ditambahi lagu-lagu ritmis seperti “Young Black & Rich”, dan lahirlah tren baru: aura farming ala bocah Pacu Jalur.
Di TikTok, ratusan ribu video menirukan gaya ini, mulai dari pengguna biasa hingga atlet kelas dunia seperti Neymar, Travis Kelce, hingga maskot AC Milan.
Bahkan akun resmi PSG menyebut, “Auranya sampai ke Paris”. Ini bukan sekadar tarian lucu, tapi simbol dari estetika baru yang lahir dari akar budaya.
Viralitas Budaya Lokal
Yang menjadikan tren ini istimewa adalah akarnya yang sangat lokal. Pacu Jalur bukanlah festival mainstream seperti Rio Carnival atau Mardi Gras.
Ia adalah tradisi yang hidup di tepian Sungai Batang Kuantan, digelar rutin tiap Agustus, dan penuh makna spiritual serta kebersamaan komunitas.
Namun dengan sentuhan digital, ia menjelma menjadi konten global.
Aura farming dari Pacu Jalur menunjukkan bahwa budaya tak harus dikemas ulang agar viral.
Justru dalam keasliannya, nilai lokal bisa menyentuh rasa universal: semangat, percaya diri, keberanian tampil.
Gerakan kecil itu membuktikan bahwa sesuatu yang organik dan tak dibuat-buat bisa lebih kuat dari koreografi buatan.
Banyak kreator TikTok menyebut ini sebagai momen langka: ketika budaya daerah hadir tanpa filter dan tetap bisa memikat dunia. Ini menjadi pelajaran berharga bagi daerah lain di Indonesia.
Budaya kita kaya, tinggal bagaimana kita menangkap momen dan mengemasnya tanpa menghilangkan identitas.
Anak-anak dan Budaya Digital
Tren aura farming juga menyoroti peran anak-anak sebagai aktor utama dalam budaya digital. Biasanya, anak-anak dilihat sebagai konsumen konten.
Tapi kini, mereka justru menjadi pusatnya. Dhika, bocah dari Kuansing yang viral, bukan hanya penari, tapi simbol generasi baru yang berani tampil dan membawa budaya dengan caranya sendiri.
Ada kekuatan dalam kejujuran dan spontanitas gerakan anak-anak ini. Mereka tak dibuat-buat, tak terjebak dalam estetika kekinian yang kaku.

Justru dalam itulah kekuatan mereka. Generasi digital merespons ketulusan dan ekspresi otentik. Itulah mengapa tarian mereka terasa lebih dalam daripada video challenge biasa.
Ini juga membuka ruang diskusi baru tentang bagaimana mendidik dan membimbing anak dalam berekspresi digital. Ketika sorotan global datang, bagaimana komunitas dan orang tua bisa tetap menjaga agar anak-anak ini tumbuh sehat secara mental dan tetap dekat dengan akar budaya mereka?
Catatan untuk Kreator dan Komunitas
Aura farming dari Pacu Jalur bukan tren yang lahir dari strategi marketing. Ini adalah hasil alami dari budaya yang hidup dan generasi yang ekspresif.
Tapi dari sini kita belajar: bahwa viralitas bisa datang dari mana saja, dan bahwa teknologi tidak harus menjadi penggerus budaya, melainkan alat untuk menyebarkannya.
Bagi para kreator konten, ini momentum untuk mengeksplorasi kekayaan budaya lokal dengan cara yang segar dan otentik.
Bagi komunitas, ini saatnya untuk percaya bahwa budaya mereka punya daya tarik yang tak kalah dari budaya global.
Seperti kata pepatah Minang, “Di ateh aia ado langik, di bawah langik ado aia” — di atas air ada langit, di bawah langit ada air. Dalam setiap hal yang tampak sederhana, selalu ada kedalaman yang bisa menyentuh dunia.
Komentari lewat Facebook