Techfin Insight – Korea Selatan bukan hanya unggul di bidang teknologi dan budaya pop. Negara ini juga dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat literasi keuangan yang cukup tinggi di Asia.
Menariknya, perkembangan ini bukan terjadi secara tiba-tiba. Ada banyak pelajaran yang bisa kamu petik dari bagaimana masyarakat Korea Selatan membentuk kebiasaan finansial yang sehat—dan kenapa Indonesia bisa ikut mengejar ketertinggalan itu.
Literasi Keuangan: Bukan Cuma Soal Tahu Investasi
Menurut data dari OECD/INFE Financial Literacy Survey, Korea Selatan mencatat skor literasi keuangan di atas rata-rata global. Skor tersebut mengukur tiga hal utama: pengetahuan, perilaku, dan sikap terhadap keuangan.
Ini mencerminkan bahwa masyarakat Korea tidak hanya tahu produk keuangan seperti reksa dana atau saham, tapi juga tahu cara mengelola utang, menabung secara konsisten, dan membuat keputusan keuangan jangka panjang.
Di sisi lain, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK 2022 menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan Indonesia masih di angka 49,68%.
Artinya, lebih dari setengah masyarakat Indonesia belum memiliki pemahaman memadai soal keuangan pribadi.
Apa yang Dilakukan Korea Selatan?
1. Literasi Keuangan Sejak Usia Sekolah
Pemerintah Korea Selatan mewajibkan pendidikan finansial masuk ke kurikulum sekolah menengah. Anak-anak usia 13–17 tahun sudah dikenalkan pada konsep pengelolaan uang, pinjaman, bunga majemuk, dan cara kerja bank.
Bahkan, beberapa sekolah menjalin kerja sama dengan bank lokal untuk mengadakan simulasi pembukaan rekening dan menabung secara rutin.

2. Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Bank sentral Korea (Bank of Korea) bersama lembaga seperti Financial Services Commission secara aktif membuat program edukasi nasional.
Di sisi swasta, perusahaan fintech dan bank digital juga punya kewajiban menjalankan financial education campaign.
Salah satu contoh sukses adalah kampanye ’10 Juta Orang Melek Finansial’ yang dilakukan oleh KB Kookmin Bank bersama universitas dan media lokal.
Kegiatan ini mencakup seminar, pelatihan online, hingga konten edukatif di media sosial.
Pada tahun 2022, pemerintah Korea Selatan juga meluncurkan program rekening tabungan yang didukung negara (“Youth Hope Savings Product”) untuk pemuda berpenghasilan rendah berusia 19 hingga 34 tahun.
Lebih dari 2,9 juta pemuda telah mendaftar untuk program tersebut. Pada tahun 2023, pemerintah yang baru terpilih saat itu juga mengumumkan program serupa, “Youth Leap Account,” yang memperluas kelayakan dan jumlah tabungan maksimum yang memungkinkan.
3. Budaya Menabung yang Kuat
Korea Selatan memiliki kebiasaan “gye”, sistem menabung bersama secara tradisional yang telah menjadi bagian dari budaya komunitas.
Tradisi ini masih bertahan dan bahkan berkembang menjadi aplikasi menabung bersama yang diluncurkan fintech lokal.
“Yang menarik, budaya dan teknologi di Korea berjalan beriringan untuk mendorong literasi keuangan. Masyarakat di sana terbiasa memisahkan keuangan harian, tabungan darurat, dan investasi sejak dini,” ujar Setiawan Chogah, Editor in Chief Techfin Insight dan juga seorang Financial Storyteller.

4. Literasi Keuangan Diusung Lewat Budaya Pop, Termasuk Drama Korea
Salah satu kekuatan Korea Selatan adalah kemampuannya menyelipkan pesan edukatif dalam budaya pop, termasuk drama dan film. Literasi keuangan pun tak luput dari pendekatan ini.
Banyak drama Korea mengangkat isu-isu finansial secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, “Money Game” (2020) menggambarkan krisis ekonomi dan peran pemerintah dalam menjaga stabilitas keuangan nasional. “Itaewon Class” (2020) menceritakan perjalanan seorang pemuda dalam membangun bisnis restoran hingga menjadi waralaba besar—lengkap dengan strategi investasi, perencanaan modal, dan ekspansi pasar.
Drama populer lainnya, “Start-Up” (2020), mengajak penonton menyelami dunia teknologi dan startup. Di dalamnya, terdapat banyak aspek yang menyentuh literasi keuangan: mulai dari pitching ke investor, valuasi perusahaan, equity, hingga tantangan keuangan saat membangun perusahaan rintisan dari nol.
Tak ketinggalan, “Vincenzo” (2021) menyoroti isu penggelapan dana dan pencucian uang, sedangkan “Misaeng: Incomplete Life” (2014) menunjukkan realitas keuangan dan tekanan ekonomi dalam dunia kerja. Sementara itu, serial “Big Bet” (2022) menggambarkan sisi gelap bisnis uang ilegal dan perjudian lintas negara.

“Drama-drama Korea bukan cuma hiburan, tapi bisa jadi medium yang kuat untuk edukasi finansial. Lewat karakter dan konflik yang relatable, penonton bisa belajar soal investasi, manajemen risiko, dan dinamika ekonomi dengan cara yang menyenangkan,” kata Setiawan.
Dengan cara seperti ini, literasi keuangan di Korea Selatan tidak hanya diajarkan lewat buku atau kelas, tapi juga dikembangkan lewat media yang dekat dengan keseharian masyarakat.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sebenarnya mulai mengarah ke sana. Beberapa platform edukasi keuangan mulai bermunculan, dari komunitas seperti Finansialku, ZAP Finance, hingga inisiatif dari OJK dengan Sikapi Uangmu.
Namun tantangannya cukup banyak, di antaranya:
- Edukasi belum merata di semua daerah
- Kurangnya integrasi kurikulum literasi keuangan di sekolah
- Maraknya konten keuangan abal-abal di media sosial
“Yang perlu kita tiru bukan cuma programnya, tapi konsistensinya. Korea konsisten menjadikan literasi keuangan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan cuma wacana saat bulan inklusi keuangan,” tambah Setiawan.
Cara Sederhana Meningkatkan Literasi Keuangan ala Korea
Kalau kamu ingin mulai sekarang juga, ini beberapa langkah sederhana yang bisa diambil, terinspirasi dari pola Korea Selatan:
- Buat anggaran pribadi tiap bulan, pisahkan kebutuhan dan keinginan
- Gunakan aplikasi keuangan lokal seperti Jago, Bibit, atau Bareksa untuk belajar investasi
- Ikuti komunitas finansial yang sehat dan terbuka diskusi (hindari “cuan instan”)
- Tonton konten edukatif dari sumber resmi seperti OJK, CNBC Indonesia, atau kanal edukatif luar negeri seperti Investopedia
Literasi keuangan bukan soal pintar menghitung angka, tapi soal kemampuan membuat keputusan yang bijak dan berkelanjutan.
Belajar dari Korea Selatan, kita tahu bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kebiasaan kecil—dan dari generasi muda seperti kamu.
Mulai dari sekarang, yuk biasakan melek finansial. Karena masa depan bukan ditentukan oleh berapa besar gajimu, tapi seberapa bijak kamu mengelolanya.
Komentari lewat Facebook