Techfin Insight – Halo, tech-fin enthusiast! Pernahkah kamu iseng membuka Google Trends dan melihat apa yang sedang ramai dicari di Indonesia?
Jika pernah, kamu mungkin akan merasakan kombinasi antara kaget dan miris.
Selama tujuh hari terakhir, daftar pencarian yang meroket—dengan status “breakout”, artinya pertumbuhannya lebih dari 5.000%—hampir seluruhnya didominasi oleh satu topik: judi online.
Istilah seperti “slot gacor”, “link gacor”, dan berbagai nama situs judi spesifik memenuhi layar.
Ini bukan lagi sekadar tren sesaat, ini adalah cermin digital yang memantulkan sebuah krisis nasional. Saat negara tetangga seperti Singapura sibuk mencari berita dunia tentang “Iran Israel” atau acara olahraga global “Australia vs South Africa” , fokus pencarian kita justru terjebak dalam labirin harapan palsu.
Fenomena ini adalah alarm darurat yang bunyinya semakin kencang.
Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melukiskan gambaran yang lebih suram.
Jumlah pemain judi online di Indonesia meledak dari 3,7 juta orang pada 2023 menjadi 8,8 juta pada 2024.
Dan perputaran uangnya? Angkanya sungguh fantastis. Dari Rp 327 triliun pada 2023, nilainya diproyeksikan bisa menembus Rp 1.200 triliun pada 2025.
Bayangkan, uang sebanyak itu—setara dengan porsi signifikan APBN kita—menguap dari ekonomi produktif, tidak menjadi modal usaha atau konsumsi lokal, melainkan lari ke kantong-kantong bandar di luar negeri.
Jebakan “Jalan Pintas” yang Sebenarnya Jalan Buntu Menuju Kehancuran
Kamu mungkin bertanya, kenapa bisa separah ini? Akar masalahnya terletak pada godaan “mentalitas jalan pintas”.
Di tengah tekanan ekonomi, meningkatnya biaya hidup, dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan yang layak, janji untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar secara instan dan tanpa kerja keras terdengar seperti solusi ajaib.
Judi online menjual sebuah mimpi, tapi yang ia berikan pada akhirnya adalah mimpi buruk yang nyata.
Ini bukan sekadar soal kalah atau menang. Ini adalah masalah yang menggerogoti fondasi mental dan moral bangsa. Judi online secara fundamental merusak etos kerja.
Ia melatih otak kita untuk bergantung pada keberuntungan pasif, bukan pada usaha aktif dan pengembangan diri.
Waktu, energi, dan sumber daya mental yang seharusnya bisa digunakan untuk belajar, berinovasi, atau berkarya, justru terkuras habis untuk aktivitas spekulatif yang tidak menghasilkan nilai apa pun.
Dampaknya merembet ke mana-mana. Secara psikologis, kecanduan judi online terbukti meningkatkan risiko stres, kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya.
Secara sosial, ia merusak hubungan keluarga, memicu konflik, dan bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Dan yang paling fatal, ia menciptakan lingkaran setan utang.
Komentari lewat Facebook