Techfin Insight — Otak manusia tak pernah bekerja sekeras hari ini. Setiap guliran jempol di layar ponsel memaksa neuron bereaksi, mengolah potongan informasi yang tak henti mengalir. Namun, apakah semua informasi itu bergizi?
Di tengah gempuran konten digital yang makin dangkal dan sensasional, generasi muda justru berisiko mengalami fenomena yang disebut brain rot — penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi informasi yang tidak sehat.
Lebih mencemaskan lagi, efeknya tidak berhenti di otak. Ia merambat hingga ke pola makan, gaya hidup, bahkan kesehatan fisik.
Brain Rot dan Sinyal Bahaya dari Layar Gawai
Fenomena brain rot tak lagi sekadar istilah populer di TikTok atau Reddit. Ia nyata dan perlahan membentuk kebiasaan baru yang merugikan: kecanduan layar, penurunan fokus, dan menyusutnya kemampuan berpikir kritis.
Laporan Harian Kompas (28/6/2025) mengangkat fenomena ini dengan pendekatan multidisipliner — dari psikologi, pendidikan, hingga sosiologi.
Intinya: konten digital yang dangkal tidak hanya membuat kita malas berpikir, tapi juga memicu kemunduran intelektual.
Generasi Z dan generasi alfa, yang mestinya jadi kelompok paling kreatif dan produktif, justru menjadi target utama algoritma yang memanjakan dopamin — hormon yang membuat kita kecanduan notifikasi dan video pendek.
Ketika Makanan Jadi Korban: Pola Konsumsi Pangan Ikut Terdampak
Tak banyak yang sadar, brain rot ternyata punya saudara kembar: body rot. Pola konsumsi pangan yang terbentuk dari konten-konten viral bisa memicu kebiasaan makan yang buruk.
Tagar #food dan #cooking menempati peringkat keempat konten paling populer di TikTok tahun 2025. Tak jauh beda di Instagram dan YouTube. Namun, di balik visual menggoda dan efek suara ASMR, tersimpan risiko tersembunyi.
Studi oleh Zeng dkk (2025) menganalisis 1.445 unggahan konten makanan di TikTok. Hasilnya mencengangkan:
- 55% tidak berbasis bukti (non-evidence-based)
- 75% mengandung informasi tidak akurat
- 90% tidak menyertakan risiko atau manfaat dari makanan yang ditampilkan
Kebanyakan konten dibuat bukan oleh pakar gizi atau ahli kuliner, melainkan oleh kreator dengan fokus pada estetika dan engagement.
Akibatnya, algoritma menggiring kita untuk menonton lebih banyak video tentang mukbang, cheesy food, dan makanan ekstrem — semua demi satu: klik dan views.
Algoritma, Dopamin, dan Lingkaran Setan Digital
Algoritma media sosial bekerja seperti kurator yang terlalu tahu apa yang kita suka. Sekali kamu menonton video makanan berlemak, sistem akan merekomendasikan lebih banyak video serupa. Ini disebut reinforcement loop — dan ia berbahaya.
Lapar imajinatif pun terbentuk. Sekresi dopamin dari video ditambah konsumsi gula dan lemak dalam dunia nyata menciptakan double hit yang menyerang kognisi dan metabolisme tubuh. Beginilah brain rot dan body rot bekerja secara bersamaan.
Jalan Keluar: Literasi, Regulasi, dan Peran Kreator
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Bagi Pengguna:
- Gunakan fitur screen time reminder untuk membatasi waktu layar.
- Kurasi akun yang diikuti: unfollow akun yang membuat kamu overthinking atau lapar mata.
- Follow akun edukatif, sains, dan gizi sehat untuk mengubah arah algoritma.
Bagi Orang Tua:
- Aktif gunakan fitur family pairing di gawai anak-anak.
- Bangun kebiasaan makan dan menonton bersama, serta diskusikan kontennya.
Bagi Kreator:
- Jadikan prinsip evidence-based sebagai fondasi. Konten yang informatif bisa tetap menarik jika dikemas kreatif.
- Perhatikan dampak jangka panjang dari informasi yang disampaikan, khususnya soal makanan dan gaya hidup.
Bagi Regulator:
- Pemerintah bisa meniru model Digital Service Act seperti di Uni Eropa, yang mengatur reliabilitas konten dan transparansi algoritma.
- Di Indonesia, langkah awalnya bisa lewat peningkatan literasi media dan pendekatan ke kelompok usia paling rentan.
Menuju Brain Fit dan Body Fit
Brain rot adalah cermin zaman. Tapi ia bukan vonis. Membersihkan layar dari konten toksik dan membersihkan piring dari makanan tak sehat adalah dua tindakan paling sederhana tapi berdampak besar.
Di tengah dunia yang makin cepat dan bising, kemampuan untuk menyaring informasi dan membangun kebiasaan makan sehat menjadi investasi paling masuk akal. Karena di era digital ini, brain fit dan body fit bukan hanya impian — tapi kebutuhan.
Komentari lewat Facebook