Teluk Kuantan, Techfin.id — Di balik gemuruh sorakan penonton dan dentuman meriam penanda lomba dimulai, pacu jalur bukan sekadar olahraga air.
Ia adalah narasi panjang tentang tradisi, spiritualitas, dan identitas yang melekat kuat dalam masyarakat Kuantan Singingi, Riau.
Bahkan jauh sebelum viral di media sosial, budaya pacu jalur sudah lebih dulu menorehkan sejarahnya dalam ingatan kolektif masyarakat Melayu Rantau Kuantan.
Dari Alat Transportasi hingga Simbol Komunitas
Jalur, dalam konteks masyarakat Riau, bukan sekadar perahu panjang. Ia dulunya adalah alat transportasi utama masyarakat di sepanjang Sungai Batang Kuantan.
Dibuat dari satu batang pohon utuh yang dipilih berdasarkan usia dan kekuatannya, jalur menjadi kendaraan untuk mengangkut hasil panen, barang dagangan, dan tentu saja manusia—menghubungkan kampung-kampung di hulu hingga hilir.
Namun pada satu titik dalam sejarah, jalur tak lagi hanya soal berpindah tempat. Ia mulai dipacu—dipertandingkan—dalam rangkaian upacara adat, perayaan hari besar Islam, dan kegiatan komunitas. Inilah awal mula pacu jalur sebagai tradisi budaya.
Seiring berkembangnya waktu, pacu jalur menjadi ajang yang tidak hanya sarat semangat kompetitif, tapi juga penuh unsur spiritual, estetika, dan kebersamaan.
Tidak heran jika ia kini menjadi salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang diakui sejak tahun 2014.
Jejak Kolonial dan Transformasi Nasional
Catatan sejarah menunjukkan bahwa pacu jalur sempat dijadikan agenda resmi Pemerintah Kolonial Belanda.
Setiap tanggal 31 Agustus, perlombaan pacu jalur digelar sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Perayaan berlangsung selama dua hingga tiga hari, lengkap dengan iring-iringan musik dan pertunjukan rakyat.
Pasca-kemerdekaan, tradisi ini tidak luntur. Justru, Pemerintah Kabupaten Kuansing menjadikannya agenda tahunan dalam rangka memeriahkan HUT RI setiap bulan Agustus.
Lokasinya dipusatkan di Tepian Narosa, Teluk Kuantan—tempat suci dan historis di tepi Sungai Batang Kuantan yang menjadi saksi ratusan perahu panjang bertanding dengan semangat yang membara.
Formasi Unik dalam Sebuah Jalur
Satu perahu jalur bisa memuat hingga 60 pendayung atau disebut anak pacu.
Tapi tak hanya pendayung, dalam satu tim jalur juga ada struktur peran yang sangat menarik:
- Tukang Pinggang: pemegang kemudi sekaligus nahkoda utama jalur.
- Tukang Onjai: menjaga ritme jalur di bagian buritan dengan menggoyangkan badan secara berirama.
- Tukang Tari (Anak Coki): anak kecil yang menari di ujung perahu, memberi semangat dan menunjukkan keunggulan jalur mereka. Biasanya berusia 8–12 tahun dan memiliki keseimbangan luar biasa.
- Tukang Timbo: bertugas memberi aba-aba dan menguras air yang masuk ke jalur.
Setiap peran memiliki makna dan nilai tersendiri. Mereka tidak hanya bagian dari lomba, tetapi juga representasi dari sistem sosial yang harmonis—paduan antara strategi, kekompakan, dan semangat kolektif.

Seni dan Simbol dalam Warna dan Gerak
Selain kecepatan, pacu jalur juga memanjakan mata penonton dengan keindahan visual.
Setiap jalur dihias dengan ornamen warna-warni, sering kali bertema fauna mitologis seperti naga atau burung garuda.
Para anak pacu juga mengenakan kostum seragam khas Melayu lengkap dengan destar (ikat kepala) dan kain songket.
Tarian anak coki yang berdiri tegak di ujung jalur bukan hanya aksi hiburan. Itu adalah bentuk ekspresi budaya, penanda keberanian dan identitas lokal yang tak mudah ditiru.
Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan mereka bahkan jadi inspirasi bagi koreografi kontemporer dan kini viral secara global lewat tren Aura Farming.
Tradisi dalam Lanskap Digital
Kini, ketika media sosial menjadi panggung baru budaya, pacu jalur menemukan bentuk barunya. Berkat anak-anak seperti Dhika yang viral di TikTok, tradisi ini tak hanya bertahan, tapi juga tumbuh.
Video anak menari di ujung jalur sembari mengenakan kaca mata hitam menyebar ke seluruh dunia, membuat atlet top seperti Neymar, Travis Kelce, hingga Diego Luna ikut merayakan budaya lokal Indonesia.

Ini menunjukkan bahwa budaya lokal yang dikemas dengan baik—tanpa kehilangan nilai aslinya—punya potensi luar biasa untuk mendunia.
Menjaga Warisan, Merawat Identitas
Di tengah euforia digital dan sorotan dunia, tugas terbesar kita adalah menjaga esensi pacu jalur.
Bagaimana memastikan tradisi ini tetap hidup di tengah modernitas?
Bagaimana anak-anak generasi berikutnya tidak hanya mengenalnya lewat tren, tapi juga merasakannya langsung sebagai bagian dari hidup mereka?
Seperti yang disampaikan salah satu tokoh budaya setempat, “Pacu jalur bukan hanya lomba, ini adalah identitas.”
Dan identitas itulah yang harus kita rawat bersama—dengan bangga, dengan cinta, dan dengan kesadaran bahwa budaya adalah akar yang menguatkan kita di mana pun berada.
Komentari lewat Facebook