Techfin Insight – Ada satu masa dalam hidup saya ketika saya duduk diam, membaca ulang pesan dari seorang teman yang begitu bersemangat ingin pergi haji. Ia mengirimkan potongan ayat Al-Qur’an, mengingatkan bahwa haji adalah kewajiban bagi yang mampu. Saya membaca ayat itu dengan kepala dingin, mencoba memahami maksud baiknya, tapi ada ganjalan yang tak bisa saya tolak—karena teman yang sama masih menyimpan utang yang belum ia lunasi.
Bukan soal nominalnya. Saya masih punya dana darurat. Hidup saya tidak berubah karena ia belum membayar. Tapi di hati kecil saya, ada luka yang diam-diam tumbuh. Luka yang bukan karena kehilangan uang, tapi karena kehilangan kepercayaan. Seolah saya sedang melihat seseorang yang sangat ingin mendekat kepada Tuhan, tapi dengan tergesa meninggalkan sesamanya.
Saya jadi bertanya-tanya sendiri: apakah ini tentang haji, atau tentang cara kita memahami agama?
Kita tahu bahwa haji adalah rukun Islam. Ia ibadah besar. Tapi saya juga tahu bahwa dalam rukun itu ada syarat: “bagi yang mampu.” Dan “mampu” bukan hanya soal ongkos dan fisik. Ada dimensi sosial di dalamnya. Ada beban moral yang tak bisa ditinggalkan begitu saja demi mengejar pahala individu.
Saya tidak sedang menuduh siapa-siapa. Tapi saya jujur sedang merasa sedih. Karena saya juga lahir dan besar di lingkungan yang seringkali meletakkan simbol agama lebih tinggi dari nilai dasarnya. Pergi haji jadi impian besar, bahkan ketika dapur masih sering tak ngebul. Berangkat umrah berkali-kali dianggap lebih bermakna dibanding membayar utang kecil yang sudah bertahun-tahun tertunda.
Lama-lama saya melihat ini bukan hanya soal semangat beragama, tapi soal disfungsi peran. Seorang ayah, misalnya, seharusnya mendahulukan kepastian makan, kesehatan, dan pendidikan anak-anaknya. Seorang suami seharusnya memastikan kestabilan rumah tangga, mengurangi beban istri, bukan menambah utang demi mengejar tiket ke Tanah Suci. Seorang teman seharusnya menjaga amanah, bukan menghindar dari janji yang pernah ia buat.
Ketika peran-peran itu terabaikan, atas nama ibadah sekalipun, ada yang tidak beres.
Saya tahu, ini bukan soal mana yang benar dan salah. Tapi rasanya kita perlu berhenti sejenak dan bertanya—mengapa sebagian dari kita sampai rela hidup susah, anak-anak tidak sekolah, rumah tangga terlilit utang—demi bisa naik haji?
Bukankah Allah itu tidak zalim, dan tidak pula terburu-buru?
Bukankah Dia Maha Tahu isi hati dan kondisi hamba-Nya?
Saya mencoba memahami lebih dalam. Saya buka kembali mushaf dan membaca ulang ayat-ayat yang berbicara tentang haji, lalu membandingkannya dengan ayat-ayat tentang utang, keadilan, amanah, dan hak-hak sesama manusia.
Saya kaget ketika menyadari bahwa ayat tentang utang (QS. Al-Baqarah: 282) adalah yang paling panjang di seluruh Al-Qur’an. Bukan ayat tentang shalat. Bukan tentang puasa. Tapi tentang utang piutang—dengan detail luar biasa. Tentang pencatatan, tentang saksi, tentang keadilan. Ayat ini bahkan terdiri dari lebih dari 100 kata dalam bahasa Arab, dan menyita satu halaman penuh dalam mushaf.
Sementara itu, perintah haji tertuang dalam ayat yang lebih ringkas:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” – (QS. Ali Imran: 97)
Sederhana, padat, dan dengan catatan: bagi yang sanggup.
Iseng sekali saya ini, sempat-sempatnya saya mencatat. Dan ya, saya bagikan juga kepadamu yang saat ini tulisan ini singgah di layar gawaimu. Inilah perbandingan pesan Al-Qur’an tentang ibadah haji dan ibadah sosial yang pada akhirnya mampu saya pahami.
Aspek | Ibadah Haji (Ali Imran: 97) | Ibadah Sosial (Al-Baqarah: 282 dan lainnya) |
---|---|---|
Panjang Ayat | Pendek | Terpanjang di Al-Qur’an |
Fokus | Perintah naik haji bagi yang mampu | Detail teknis keadilan, pencatatan, dan saksi dalam utang piutang |
Syarat | “Bagi yang mampu” | Tidak disyaratkan ritual, langsung pada tindakan sosial yang adil |
Konteks Sosial | Ibadah individu (meskipun berdampak kolektif) | Ibadah horizontal, langsung berhubungan dengan manusia lain |
Akibat Pengabaian | Dosa pribadi | Potensi kerusakan sosial, konflik, dan kezhaliman |
Saya juga menemukan bahwa dalam banyak tempat, Al-Qur’an memadukan ibadah ritual dan ibadah sosial dalam satu napas. Shalat harus mencegah perbuatan keji dan mungkar. Puasa harus disertai kepekaan sosial. Zakat wajib ditunaikan karena harta bukan milik pribadi semata.
Dan Allah juga berfirman:
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat ria dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” – (QS. Al-Ma’un: 1–7)
Lalu saya melihat realita hari ini. Tentang orang-orang yang mengejar tanah suci, tapi tak peduli pada tanah di mana mereka berpijak. Tentang mereka yang mengirim ayat untuk menguatkan niat berhaji, tapi lupa bahwa Al-Qur’an yang sama mengingatkan pentingnya menepati janji dan membayar hak orang lain.
Mungkin saya sedang terlalu perasa. Tapi saya rasa wajar jika seseorang merasa gelisah ketika melihat agama dijalankan tanpa keseimbangan. Ketika ibadah menjadi pelarian, bukan pengingat. Ketika agama terasa megah di luar, tapi rapuh di dalam.
Saya tulis ini bukan karena saya lebih baik. Bukan karena saya tidak punya dosa. Tapi karena saya sedang belajar, sedang mencoba jujur, dan sedang berusaha menyembuhkan luka batin yang timbul dari kepercayaan yang dikhianati.
Saya ingin meyakini bahwa beragama tidak harus selalu sempurna, tapi seharusnya tetap utuh. Antara langit dan bumi. Antara Allah dan sesama manusia.
Saya percaya bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Bijaksana—dan Ia pasti lebih menyukai hamba yang jujur menjalani hidup, meskipun belum bisa berangkat ke tanah suci, dibanding yang memaksakan diri demi status, lalu meninggalkan jejak yang menyakiti orang lain.
Agama seharusnya membuat kita lebih sadar, bukan lebih buta.
Lebih lembut, bukan lebih keras.
Lebih bertanggung jawab, bukan lebih egois.
Dan saya tulis ini agar saya sendiri tidak lupa.
Mungkin cara berpikir saya yang salah. Saya sadar, kapasitas saya sebagai seorang muslim yang masih belajar sangat mungkin membawa bias dalam melihat perintah Allah. Tapi satu hal yang pasti, saya akan terus belajar lebih dalam tentang jalan iman yang saya pilih secara sadar ini—Islam.
Bagi saya, rasanya lebih rasional bila mimpi ke Tanah Suci ditunda dulu. Saat ini, saya ingin lebih dulu menjadi muzzaki—seorang yang bisa dan wajib memberi, bukan hanya ingin pergi.
Saya sedang menata hidup, tanpa utang, dengan ruang yang cukup untuk tetap adil pada diri sendiri dan orang-orang yang mungkin nanti hadir kembali. Saya belum tahu kapan akan kembali memilih untuk membangun rumah tangga. Tapi ketika saat itu tiba, saya ingin bisa menjadi pelindung yang layak—bukan hanya suami atau ayah secara status, tapi benar-benar hadir secara fungsi.
Jika mimpi-mimpi itu sudah nyata, baru terasa sah bagi saya untuk mulai bermimpi berangkat ke Tanah Suci. Hingga hari itu datang, saya akan terus berusaha menjadi seorang muslim rasional—yang tidak hanya menjalani ibadah secara simbolik, tapi juga memelihara nilai keadilan sosial yang melekat pada setiap perintah-Nya.
Refleksi kecil seorang muslim yang masih belajar beragama.
Ditulis di bulan Dzulqa’dah 1446 H, tahun 2025 M.
Komentari lewat Facebook