Techfin.id – Beberapa waktu lalu, saya bertemu teman lama di sebuah kedai kopi kecil di selatan Jakarta. Ia terlihat gelisah, sesekali mengecek aplikasi investasi di ponselnya.
“Sahamku turun semua, Bro. Kayaknya mending pindah ke reksadana aja, deh,” katanya sambil menyeruput kopi hitam yang sudah dingin.
Saya hanya tersenyum dan berkata pelan, “Mungkin bukan salah saham atau reksadananya. Tapi salah caramu melihatnya.”
Percakapan itu menggugah saya menulis ini. Karena sesungguhnya, saham dan reksadana bukanlah rival yang harus diadu.
Mereka adalah alat dengan fungsi berbeda. Layaknya obeng dan palu, berguna sesuai kebutuhan.
Sayangnya, banyak orang Indonesia justru terjebak pada pertanyaan keliru: “Mending mana, saham atau reksadana?”
Salah Kaprah dalam Dunia Investasi
Budaya FOMO—fear of missing out—telah menjangkiti dunia finansial. Tren investasi yang viral di media sosial seringkali membuat orang merasa ketinggalan jika belum terjun ke pasar saham atau membeli produk reksadana tertentu.
Padahal, investasi bukan kontes cepat-cepatan. Ini adalah perjalanan panjang yang perlu pemahaman mendalam, bukan sekadar ikut-ikutan.

Saya teringat salah satu nasihat Warren Buffett. Dia pernah berkata, “Risk comes from not knowing what you’re doing.”
Risiko itu muncul saat kamu tidak tahu apa yang sedang kamu lakukan—dan sayangnya, banyak yang justru masuk ke dunia investasi tanpa mengenal dirinya sendiri lebih dulu.
Kenali Dulu Profil Risikomu
Setiap orang punya kondisi psikologis dan keuangan yang berbeda. Ada yang tahan banting dengan fluktuasi pasar, ada yang gelisah begitu portofolionya merah satu hari.
Itulah pentingnya mengenali profil risiko sebelum memutuskan jenis investasi.
Apakah kamu termasuk investor konservatif, moderat, atau agresif? Ini bukan soal pintar atau tidak, tapi soal kesiapan mental dan finansial.
Orang yang tidak suka kejutan seharusnya tidak bermain di pasar saham yang volatil. Sama seperti orang yang mudah panik sebaiknya tidak nonton film horor sendirian.
Saham dan Reksadana: Beda Alat, Beda Fungsi
Saham adalah bentuk investasi yang memberikan potensi keuntungan tinggi, tapi juga risiko besar. Cocok bagi kamu yang punya waktu, pengetahuan, dan nyali untuk menghadapi naik-turunnya pasar.
Sementara itu, reksadana—terutama jenis pasar uang dan pendapatan tetap—cenderung lebih tenang. Cocok bagi kamu yang ingin investasi tapi tidak punya banyak waktu untuk menganalisis pasar setiap hari.
Analogi sederhananya begini: saham itu seperti naik motor sport—cepat, mendebarkan, tapi rawan jatuh.

Reksadana seperti naik mobil keluarga—lebih stabil, nyaman, tapi tentu tidak secepat motor.
Keduanya bisa membawamu sampai tujuan. Yang membedakan adalah bagaimana kamu ingin menjalani perjalanan itu.
Bahaya Ikut-ikutan Tanpa Mindfulness
Dalam banyak sesi coaching finansial yang saya jalani, saya sering mendapati orang yang membeli saham hanya karena “teman kantor cuan besar.”
Setelah rugi, mereka kecewa bukan main. Bukan karena uang yang hilang, tapi karena merasa telah gagal ikut tren.
Padahal, kegagalan sejati bukan soal rugi, tapi ketika kamu berinvestasi tanpa tahu kenapa dan untuk apa.
Mindfulness dalam finansial artinya sadar sepenuhnya atas keputusan yang kamu ambil. Kamu tahu kenapa memilih reksadana dibanding saham.
Kamu paham risikonya. Kamu siap kalau hasilnya belum sesuai harapan.
Investasi Itu Pribadi, Bukan Kompetisi
Setiap orang punya peta hidup yang berbeda. Penghasilan, tanggungan keluarga, trauma masa kecil tentang uang, semua itu membentuk bagaimana kita melihat risiko.
Maka keputusan finansial pun bersifat sangat pribadi.
Mengharapkan semua orang cocok dengan satu jenis investasi adalah seperti berharap semua orang bisa nyaman duduk di barisan paling depan bioskop. It’s not one-size-fits-all!
Pilih Berdasarkan Kesadaran, Bukan Tren
Jadi, mending saham atau reksadana? Jawabannya: tergantung kamu siapa, butuh apa, dan sanggup menanggung risiko sejauh mana.
Jangan menanam mangga karena tetanggamu menanam mangga. Tanamlah yang bisa kamu rawat dan kamu nikmati hasilnya.
Setiawan Chogah
Kalau kamu ingin belajar lebih lanjut soal profil risiko dan membangun habit finansial yang sehat, kamu bisa membaca artikel saya sebelumnya tentang habit surplus di rubrik Insight dan Keuangan.
Ingat, tujuanmu bukan sekadar “ikut kaya” seperti orang lain. Tujuanmu adalah membangun keamanan dan kebebasan finansial dengan cara yang paling cocok untukmu.
Komentari lewat Facebook