Jakarta, Techfin Insight – Beberapa tahun lalu, BlackBerry hanya dikenang sebagai simbol kejayaan masa lalu. Tapi kini, ponsel legendaris itu kembali jadi buruan Gen Z.
Bukan untuk koleksi, melainkan untuk dipakai sehari-hari. Fenomena ini menyimpan pesan penting: generasi muda mulai lelah dengan keterhubungan tanpa henti, dan mereka kini sedang mencari jalan keluar.
Dalam beberapa bulan terakhir, pasar ponsel bekas menunjukkan lonjakan permintaan BlackBerry. Bukan cuma di Amerika Serikat atau Eropa, tapi juga di Indonesia.
Bagi sebagian Gen Z, ini adalah bentuk digital detox yang nyata—melepas smartphone canggih demi ponsel yang lebih “bodoh” tapi lebih damai.
Dumb Phone Bukan Simbol Kemunduran
Tren kembali ke ponsel konvensional, termasuk BlackBerry, tak lagi dilihat sebagai langkah mundur. Justru, itu dianggap sebagai pernyataan.
Laporan terbaru dari Partners Universal Innovative Research Publication mencatat lonjakan penjualan dumb phone sebesar 148% di kelompok usia 18–24 tahun antara 2021 dan 2024, sementara penggunaan smartphone justru turun 12% di segmen usia yang sama.
Para ahli menyebut fenomena ini sebagai bagian dari dopamine diet—gerakan sadar untuk mengurangi stimulasi berlebih dari gawai dan aplikasi.

“Notifikasi smartphone meniru pola adiksi. Kita jadi candu scroll, candu validasi, dan kehilangan kendali,” jelas Profesor Melissa DiMartino dari New York Institute of Technology.
TikTok dan tagar seperti #bringbackflipphones ikut mempercepat tren ini. Dumb phone menjadi simbol resistensi terhadap budaya always-on.
BlackBerry Jadi Ikon Baru Gaya Hidup Minimalis Digital
Salah satu perangkat yang paling banyak diburu adalah BlackBerry lawas. Menurut laporan CNBC Indonesia, harga BlackBerry bekas naik tajam di sejumlah toko online.
Model seperti BlackBerry Bold dan Curve kembali populer. Bahkan ada yang menyamakan BB dengan tren kamera film—kuno, tapi penuh makna.
Di media sosial, sejumlah konten kreator Gen Z mendemonstrasikan bagaimana mereka hidup lebih tenang setelah beralih ke BB. Tanpa notifikasi tak penting, tanpa TikTok, tanpa keharusan membalas pesan dalam hitungan menit.
“Saya ingin sadar terhadap waktu saya, bukan ke mana scroll membawa saya,” kata seorang pengguna dalam unggahan viral.
Lonjakan ini bahkan ikut mengangkat ulang merek-merek seperti Nokia, Punkt, dan Light Phone, yang memproduksi dumb phone untuk kalangan profesional yang ingin “cut the noise.”
Bukan Cuma Nostalgia, tapi Bentuk Perlawanan
Tren ini tak lahir dari kekaguman masa lalu, melainkan kekecewaan pada masa kini. Survei Harris Poll 2024 menemukan bahwa 1 dari 5 Gen Z berharap smartphone tidak pernah ditemukan, dan hampir 50% berharap TikTok atau Snapchat tidak pernah ada.
Mereka menyebut tekanan sosial, kelelahan informasi, dan kecanduan sebagai alasan utama.
Bahkan, komunitas seperti Luddite Club di New York aktif berkampanye agar anak muda kembali offline setidaknya satu hari dalam seminggu.
Dampaknya? Positif. Penelitian dari jurnal PNAS Nexus menunjukkan bahwa membatasi koneksi internet seluler (namun tetap membuka telepon dan SMS) meningkatkan konsentrasi, kesehatan mental, dan kepuasan hidup.
BlackBerry dan Simbol Kontrol Diri Digital
BlackBerry, dengan keyboard fisiknya dan antarmuka terbatas, secara tak langsung menjadi simbol kontrol diri.
Bukan karena lebih canggih, tapi karena tidak tergoda untuk membuka lima aplikasi dalam lima detik.
Ia memungkinkan pengguna untuk hadir, untuk fokus, dan untuk kembali ke komunikasi yang lebih esensial.
“Kita hidup dalam dunia algoritma yang memaksa multitasking. Kembali ke ponsel konvensional adalah cara untuk memberi ruang pada diri sendiri,” ujar Caitlin Begg, sosiolog dan pendiri Authentic Social.
Techfin Insight: Ini Bukan Akhir dari Smartphone, tapi Awal dari Kesadaran Digital
Yang menarik dari tren ini bukan soal teknologi yang digunakan, melainkan kesadaran akan dampaknya terhadap kehidupan pribadi dan mental.
Gen Z menunjukkan bahwa meski mereka lahir digital, mereka juga mampu mengambil jarak—dan itu, mungkin, adalah bentuk literasi tertinggi dalam dunia teknologi modern.
Komentari lewat Facebook