Techfin.id — Di era digital, personal branding bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Tapi membangun personal branding bukan hanya tentang membuat logo keren atau feed Instagram estetik.
Menurut Setiawan Chogah—freelancer Indonesia yang melayani klien dari Hong Kong hingga Amerika—semua bermula dari satu hal: mengenali diri sendiri.
“Passion saja tidak cukup,” kata Setiawan. “Yang penting itu tahu kamu kuatnya di mana, lemahnya di mana, dan pasarnya siapa.”
Dalam wawancara di channel YouTube OTCA, Setiawan membagikan formula membangun personal branding yang otentik, berakar pada kesadaran diri dan pemahaman akan kebutuhan industri.
Ia bukan hanya bicara teori, tapi membagikan pengalaman pribadi bagaimana branding diri yang tepat membawanya ke pasar global.
Dimulai dari SWOT Diri Sendiri
Personal branding bukan dimulai dari apa yang ingin kamu tampilkan, tapi dari siapa kamu sebenarnya.
Dalam istilah manajemen, lakukanlah analisis SWOT terhadap dirimu sendiri:
- Strength (Kekuatan): Apa keahlian dan karakter unggulanmu?
- Weakness (Kelemahan): Apa yang kamu kurang suka atau tidak kuasai?
- Opportunities (Peluang): Apa peluang yang ada di pasar saat ini?
- Threats (Ancaman): Apa saja tantangan yang bisa menghambatmu?
Setiawan menyarankan untuk jujur melihat kekurangan diri, bukan hanya menonjolkan kelebihan.
“Kalau tahu kelemahanmu, kamu tahu batas mainmu,” katanya.
Ikigai: Titik Temu yang Menjadi Jalan
Setelah mengenali diri, langkah berikutnya adalah menemukan ikigai—konsep Jepang yang menggabungkan:
- Apa yang kamu suka (passion),
- Apa yang kamu bisa (skill),
- Apa yang dibutuhkan dunia (mission),
- Dan apa yang bisa dibayar (profession).
Saat keempatnya bertemu, kamu berada di zona emas: personal branding yang relevan dan bertahan lama.
Setiawan mencontohkan dirinya sendiri: ia suka menulis dan desain, punya skill otodidak, tahu bahwa UKM dan lembaga sosial butuh konten, dan akhirnya dibayar untuk itu.

Bangun dari yang Kecil, Tapi Relevan
Banyak orang menunggu “momen besar” untuk mulai membangun branding. Padahal, menurut Setiawan, kamu bisa mulai dari proyek kecil.
Misalnya:
- Bantu UMKM teman bikin logo atau feed Instagram.
- Bikin studi kasus atau mockup project dan unggah ke LinkedIn.
- Perbaiki bio media sosialmu agar jelas siapa kamu dan apa keahlianmu.
“Perbaiki Instagram-mu. Jangan di-private. Warnai caption-nya. Pelajari SEO. Pakai alt text,” pesannya.
Ia juga menekankan pentingnya memilih platform sesuai pasar.
Kalau targetmu ibu-ibu pengusaha, main di Instagram. Kalau korporat, bangun kehadiranmu di LinkedIn. Jangan asal ikut tren.
Otentik itu Bernilai
Bagi Setiawan, personal branding terbaik adalah yang jujur dan otentik. Ia tidak mengikuti gaya desain yang sedang viral.
Ia tidak memalsukan portofolio. Ia memilih menunjukkan proses belajarnya, dan mengomunikasikan gaya kerjanya secara terbuka ke klien.

Hasilnya? Klien menghargainya bukan karena desain yang paling keren, tapi karena mereka merasa dipahami.
“Yang bikin klien bertahan bukan skill, tapi koneksi emosional. Kamu ngerti dia, dan dia ngerti kamu,” ujarnya.” ujarnya.
Jangka Panjang Butuh Konsistensi
Personal branding bukan hasil instan. Perlu waktu dan konsistensi. Setiawan sendiri tidak membangun semua itu dalam semalam.
Ia mulai dari tulisan-tulisan kecil di media, ikut teater, kerja relawan, hingga akhirnya mendirikan dezainin.com.
Kini, branding-nya sebagai freelance desainer spiritual-sosial dengan gaya bersahaja menjadi kekuatan yang tak tergantikan.
Tonton Cerita Lengkapnya di YouTube OTCA
Ingin belajar lebih jauh bagaimana membangun personal branding dari perjalanan nyata seorang freelancer?
Tonton cerita lengkap Setiawan Chogah di channel YouTube OTCA (Overseas Training & Career Academy).
Kanal ini menghadirkan cerita perjuangan karier dan studi, terutama dari individu yang meniti jalan unik di dunia global. Saksikan di sini: Kerja Freelance dari Rumah, Dibayar Klien Amerika – Cerita Setiawan Chogah