Ini menunjukkan bahwa jalur karier tradisional yang selama ini kita kenal (sekolah, dapat gelar, lalu kerja aman di kantor) kini fondasinya sedang goyah.
Kecemasan yang kamu rasakan bukanlah tanpa dasar. Ini bukan lagi sekadar kekhawatiran tentang kondisi ekonomi makro, melainkan kecemasan personal dan eksistensial tentang kelangsungan jalur karier yang selama ini kamu perjuangkan.
Rasa aman yang dibangun di atas janji karier korporat yang stabil kini sedang terkikis hebat.
#KaburAjaDulu: Gema Kekecewaan Generasi Muda di Dunia Maya
Ketika rasa aman di dunia nyata terkikis, generasi muda mencari pelampiasan di dunia maya. Lahirlah tagar #KaburAjaDulu, sebuah fenomena budaya digital yang lebih dari sekadar meme atau tren sesaat.
Awalnya mungkin hanya gurauan, namun tagar ini dengan cepat berevolusi menjadi bentuk satir yang tajam dan saluran protes kolektif terhadap kondisi sosial-ekonomi di Indonesia.
Tagar ini adalah artefak digital yang merekam keresahan, frustrasi, dan kekecewaan yang mendalam.
Sentimen di balik tagar ini pun sangat jelas. Sebuah studi akademis yang menganalisis lebih dari seribu cuitan terkait #KaburAjaDulu menemukan hasil yang mencengangkan: 96% dari cuitan tersebut mengandung sentimen negatif.
Angka ini mencerminkan kekecewaan yang meluas terhadap sulitnya mencari pekerjaan layak, biaya hidup yang terus meroket, dan ketidakpastian masa depan di tanah air.
Sementara itu, 4% sentimen positif yang ada justru seringkali datang dari mereka yang melihat kemampuan untuk “kabur” sebagai sebuah privilese, yang secara tidak langsung semakin menyoroti masalah ketidaksetaraan kesempatan.
Lantas, apa sebenarnya yang mendorong begitu banyak anak muda Indonesia bermimpi untuk “kabur” atau bekerja di luar negeri?
Ini bukanlah sekadar hasrat untuk berpetualang. Ada alasan-alasan fundamental yang mendorong keinginan tersebut:
- Imperatif Finansial: Faktor utama dan yang paling dominan adalah perbedaan gaji yang sangat signifikan. Gaji untuk profesi yang sama di negara maju bisa berkali-kali lipat lebih tinggi, menawarkan kesempatan untuk mencapai stabilitas finansial di usia muda.
- Pengembangan Karier: Banyak yang merasa peluang karier di Indonesia terbatas, terhambat oleh sistem senioritas atau birokrasi yang rumit. Di luar negeri, mereka mencari lingkungan yang lebih meritokratis, di mana promosi didasarkan pada kinerja, serta akses ke proyek dan standar kerja kelas dunia.
- Kualitas Hidup: Ini bukan hanya soal uang. Banyak yang mendambakan work-life balance yang lebih sehat, fasilitas publik yang superior (transportasi, kesehatan), lingkungan yang lebih bersih dan aman, serta regulasi kerja yang lebih melindungi hak-hak karyawan.
- Ketidakpuasan Kondisi Domestik: Faktor pendorong (push factors) dari dalam negeri juga sangat kuat. Frustrasi terhadap birokrasi, korupsi, ketidakstabilan politik, hingga masalah lingkungan seperti polusi udara di kota-kota besar menjadi alasan tambahan untuk mencari kehidupan yang lebih terstruktur di negara lain.
Narasi #KaburAjaDulu seolah-olah menyajikan pilihan biner: bertahan dengan segala keterbatasan di Indonesia, atau pergi meninggalkan segalanya demi masa depan yang lebih baik di luar negeri.
Namun, di sinilah kita menemukan titik balik yang paling krusial.
Sebuah laporan global bertajuk “Decoding Global Talent 2024“ dari Jobstreet by SEEK dan Boston Consulting Group mengungkap sebuah preferensi tersembunyi yang sangat penting.
Laporan tersebut menemukan bahwa meskipun 67% profesional Indonesia tertarik untuk pindah dan bekerja secara fisik di luar negeri, ada angka yang lebih besar lagi: 71% dari mereka menyatakan minat untuk bekerja secara remote bagi perusahaan internasional tanpa harus pindah negara.
Ini adalah benang emas yang menghubungkan masalah dengan solusi. Ini menunjukkan bahwa hasrat utama generasi #kaburAja bukanlah untuk meninggalkan Indonesia secara fisik, melainkan untuk mengakses pasar global secara ekonomi.
“Kabur” yang mereka inginkan adalah kabur dari keterbatasan ekonomi, dari gaji yang tidak sepadan, dan dari peluang karier yang mandek—bukan kabur dari keluarga, budaya, dan tanah air itu sendiri.
Jika diberi pilihan, mayoritas lebih memilih untuk mendapatkan yang terbaik dari kedua dunia: gaji standar global dengan kenyamanan hidup di rumah.
Alternatif Cerdas: Meraih Kesejahteraan Sambil “Rebahan”
Dari pemahaman mendalam tadi, kita bisa melihat bahwa pertanyaan yang selama ini salah diajukan. Pertanyaannya seharusnya bukan, “bertahan atau kabur?”
Bagaimana jika pertanyaannya kita ubah menjadi: “Bagaimana caranya meraih dunia tanpa harus meninggalkan rumah?”
Inilah saatnya kita memperkenalkan pilihan ketiga yang cerdas, yang menjawab langsung preferensi tersembunyi dari 71% profesional Indonesia tadi.
Jawabannya terletak pada kekuatan kerja jarak jauh atau remote work. Remote work adalah jembatan yang memungkinkan kamu memisahkan potensi penghasilan dari lokasi geografis.
Ini adalah mekanisme yang secara langsung menjawab pendorong utama tren #KaburAjaDulu (gaji tinggi, karier global) sambil menghilangkan pengorbanan terbesarnya (meninggalkan keluarga dan negara).
Di antara sekian banyak profesi remote yang ada, ada satu yang sangat menonjol karena fleksibilitasnya, potensi penghasilannya yang luar biasa, dan kemudahan aksesnya bahkan bagi pemula sekalipun.
Profesi itu adalah menjadi seorang Virtual Assistant (VA).
Komentari lewat Facebook