Techfin Insight – Dalam dunia digital marketing, keberhasilan sering kali diukur lewat angka: impressions naik, followers bertambah, reach meluas, dan engagement meningkat.
Namun, di balik euforia pencapaian tersebut, banyak brand, content creator, bahkan tim digital agency yang mulai menyadari satu hal: makin tinggi eksposur, makin sering pula muncul komentar negatif, kritik pedas, bahkan pesan-pesan tak pantas di kolom DM.
Mungkin kamu juga pernah merasakannya. Campaign berjalan sukses, konten viral, followers naik signifikan… tapi tiba-tiba timeline penuh dengan komentar sinis, nyinyiran, bahkan tuduhan tak berdasar.
Lantas muncul pertanyaan: “Apakah ini pertanda bahwa campaign saya salah? Atau memang wajar?”
Jawabannya: itu wajar. Bahkan, sangat bisa dijelaskan secara ilmiah dan psikologis.
1. Eksposur Publik = Risiko Polarisasi
Semakin luas audiens yang kamu jangkau, semakin besar kemungkinan kontenmu “mampir” ke beragam tipe pengguna.
Saat konten masih menjangkau 1.000–10.000 orang yang memang relate, semuanya terasa baik-baik saja.
Namun ketika campaign mulai menjangkau ratusan ribu hingga jutaan akun — algoritma media sosial tidak hanya menunjukkan kontenmu ke target market ideal, tapi juga ke pengguna dengan pandangan, latar belakang, dan preferensi yang berbeda.
Inilah yang dijelaskan dalam Public Exposure Theory: makin tinggi tingkat eksposur publik, makin besar pula potensi kamu menerima tanggapan ekstrem — baik yang memuja maupun yang mengecam.
Dalam dunia nyata, kamu tidak mungkin menyenangkan semua orang. Di dunia digital, itu bahkan lebih nyata dan lebih cepat terlihat.
2. Teori Polarisasi Sosial: Kontenmu Akan Menggugah, atau Memicu Perlawanan
Ketika pesan brand atau kampanye digital memiliki pendirian yang jelas, ini akan memicu reaksi emosional dari audiens. Bagi yang setuju, mereka akan merasa terhubung.
Tapi bagi yang tidak, mereka bisa merasa terganggu, atau bahkan terancam.
Ini dijelaskan dalam Social Polarization Theory — bahwa eksistensi opini atau nilai yang kuat di ruang publik akan memperlebar jurang antara mereka yang mendukung dan yang menolak.
Dan karena media sosial memberi ruang bebas berekspresi, komentar negatif bisa datang dengan sangat vokal, blak-blakan, dan sering kali… brutal.
3. Psikologi Dissonansi Kognitif dan Rasa Iri
Ada kalanya komentar negatif tidak benar-benar logis. Sebagai contoh: konten kamu mengedukasi tentang pentingnya kerja keras, tapi justru dibalas dengan komentar sinis seperti “ya enak ngomong gitu mah kalau udah sukses duluan”.

Ini adalah reaksi psikologis yang disebut Cognitive Dissonance — ketika seseorang merasa nilai atau pencapaianmu bertentangan dengan kondisi mereka sendiri, mereka merasa tidak nyaman.
Alih-alih merefleksi diri, mereka menyalurkan rasa tidak nyaman itu dalam bentuk kritik, nyinyiran, bahkan fitnah. Ini sering disertai dengan perasaan iri (envy) atau bahkan schadenfreude — yaitu rasa puas ketika melihat orang lain dikritik, gagal, atau dijatuhkan.
4. The 1% Rule of Internet
Dalam dunia komunitas online, ada konsep populer bernama 1% Rule:
- 90% pengguna adalah penonton pasif.
- 9% akan berinteraksi secara positif.
- 1% akan menjadi sangat vokal — dan sayangnya, kelompok inilah yang sering paling keras bersuara dalam bentuk kritik atau komentar negatif.
Jadi, kalau kamu mendapatkan tambahan 100.000 followers dari kampanye viral, secara statistik kamu akan berhadapan dengan sekitar 1.000 orang yang siap berkomentar negatif… dengan berbagai motif dan alasan.
5. Komentar Negatif Bukan Pertanda Gagal
Banyak brand dan marketer muda yang panik ketika tiba-tiba muncul komentar negatif. Padahal, ini justru sering kali menjadi indikasi bahwa kamu sedang tumbuh.
Komentar negatif tidak selalu berarti brand kamu dibenci. Bisa jadi itu hanyalah:
- Efek dari ekspansi audiens.
- Reaksi dari mereka yang tidak relate.
- Pantulan dari bias personal pengguna.
- Bahkan, hasil dari algoritma yang memang memancing perdebatan demi meningkatkan reach.
Faktanya, konten yang mengundang opini beragam biasanya lebih tinggi engagement-nya.
Dan engagement tinggi, meskipun campur aduk, tetap memberi sinyal kuat ke algoritma bahwa kontenmu layak disebarluaskan lebih jauh.
6. Strategi Menghadapi Komentar Negatif
Tentu, bukan berarti kamu harus membiarkan semua komentar buruk berlalu begitu saja.
Sebagai brand atau public figure digital, kamu perlu strategi manajemen krisis ringan yang adaptif:
- Pisahkan kritik membangun vs hate speech.
Komentar negatif yang konstruktif bisa dijadikan bahan evaluasi. Tapi jika isinya fitnah, ujaran kebencian, atau pelecehan — segera tanggapi sesuai SOP (filter otomatis, report, atau blokir).
- Gunakan fitur filter komentar otomatis.
Instagram, TikTok, dan YouTube menyediakan fitur untuk menyaring kata-kata kasar. Ini bisa jadi langkah preventif yang sangat membantu.
- Balas dengan nada profesional, atau diamkan.
Tidak semua komentar harus dijawab. Pilih momen yang tepat untuk menjelaskan, dan hindari debat terbuka yang justru membuat komentar negatif semakin viral.
- Buat pernyataan resmi jika perlu.
Untuk kasus yang lebih serius, kamu bisa mengeluarkan klarifikasi melalui story atau postingan resmi brand.
7. Haters Adalah Validasi Bahwa Kamu Diperhatikan
Di dunia yang penuh distraksi digital, tidak ada yang mengomentari sesuatu yang tidak mereka pedulikan. Jadi ketika mulai ada komentar negatif, itu berarti satu hal: kamu sedang menjadi pusat perhatian.
Alih-alih tenggelam dalam stres karena serangan haters, jadikan itu pengingat bahwa campaign-mu sedang masuk ke radar audiens yang lebih luas — dan bahwa brand kamu kini bukan hanya dilihat, tapi juga dibicarakan.
“Visibility brings both admiration and opposition. That’s the price — and the privilege — of growth.”
Jika campaign digitalmu sedang menunjukkan performa tinggi, lalu mulai muncul komentar negatif, jangan langsung anggap itu sebagai sinyal bahaya.
Justru, itu adalah bagian dari perjalanan ekspansi brand di era digital. Haters adalah bagian dari statistik, bukan musuh pribadi.
Dengan strategi manajemen yang tepat, tim yang solid, dan fokus pada tujuan utama, kamu bisa tetap melaju dan tumbuh — bahkan di tengah noise yang semakin bising.
Selamat datang di fase pertumbuhan. Jangan kaget, itu bagian dari paket sukses digital.
Komentari lewat Facebook