Techfin Insight – Pagi itu saya terbangun dengan rasa gelisah. Tidak ada alasan yang jelas, tapi tubuh saya berat, pikiran saya kusut, dan dunia terasa seperti menahan napas.
Saya duduk, menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya dalam hati: “Apa yang sedang saya sangkakan hari ini?”
Itu bukan pertanyaan iseng. Seiring waktu, saya mulai sadar bahwa perasaan-perasaan seperti itu bukan hanya datang dari luar—mereka datang dari dalam.
Dari getaran yang tak kasatmata namun memengaruhi seluruh cara kita melihat, merasakan, dan mengalami hidup.
Dalam bahasa modern, kita menyebutnya frekuensi batin, dan dalam bahasa spiritual, kita mengenalnya prasangka kepada Tuhan.
Saya teringat sebuah nasihat yang barangkali tak asing bagi banyak dari kita.
Dulu, dan hingga hari ini pun, saya sering mendengarnya dari mimbar-mimbar khutbah, dan ia terdengar seperti nasihat teologis biasa: bahwa Tuhan akan memperlakukan kita sebagaimana prasangka kita kepada-Nya.
Tapi belakangan saya mulai memahaminya secara berbeda. Ternyata ajaran itu menyimpan lapisan yang dalam—bahwa hidup ini, secara halus, menjawab getaran isi batin kita.
Pikiran, Gelombang, dan Kenyataan yang Mengikutinya
Ilmu fisika kuantum sejak lama telah membuktikan bahwa dunia ini tidak hanya tersusun dari materi padat, tetapi juga energi dan gelombang.
Dr. Joe Dispenza, dalam riset-risetnya tentang neurosains dan vibrasi energi, menegaskan bahwa pikiran kita memancarkan frekuensi—dan frekuensi itu memengaruhi apa yang kita tarik dalam hidup.
Ini bukan sihir. Ini adalah realitas medan elektromagnetik otak dan jantung kita. Penelitian dari HeartMath Institute, misalnya, menunjukkan bahwa jantung memancarkan medan elektromagnetik 5.000 kali lebih kuat daripada otak.
Saat kita berpikir dan merasa, kita sebenarnya sedang memancarkan ‘sinyal’ ke luar diri kita.
Maka ketika diajarkan bahwa Tuhan memperlakukan kita sebagaimana prasangka kita kepada-Nya, itu bukan sekadar urusan iman.
Itu adalah kode batin yang memiliki resonansi dalam kenyataan. Sangka baik memancarkan kelapangan. Sangka buruk mengundang sempitnya hidup.
Resonansi Prasangka: Saat Dunia Menjawab Isi Batin
Pernahkah kamu mengalami hari di mana segalanya terasa kacau, dan semakin kamu mengeluh, semakin buruk jadinya?
Sebaliknya, ada hari-hari di mana kamu bangun dengan rasa syukur, dan bahkan hal-hal kecil terasa indah. Bukan karena dunia berubah drastis, tapi karena frekuensimu berubah.
Ada satu kutipan lain yang selalu mengiang dalam benak saya. Saya sempat ragu-ragu untuk mengutipnya, bukan karena saya meragukan kebenarannya, tetapi karena saya tahu beratnya menukil kata-kata suci jika tak memahami konteksnya secara utuh.
Tapi kali ini, saya merasa perlu menyampaikannya, apa adanya. Untuk memastikan saya tidak salah kutip, saya salin ulang teks yang sejak lama sering saya dengar dalam khutbah-khutbah dan pengajian.
Kamu pun mungkin pernah mendengarnya:
“Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Jika ia bersangka buruk, maka itu untuknya.”
Dan jika kamu penasaran dari mana kutipan itu berasal, ia tercatat dalam salah satu kitab rujukan yang dikumpulkan berabad-abad lalu oleh para ahli, dan dikaji ulang oleh cendekiawan modern.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam karya monumentalnya Al-Musnad pada hadis nomor 16.016. Validitasnya pun diteguhkan oleh Al-Albani, seorang ulama besar di bidang hadis, yang menyatakannya sebagai hadis sahih dalam Shahih Al-Jami’, nomor 4.316.
Kalimat itu terus hidup, bukan karena namanya tertulis dalam buku, tapi karena ia bergema dalam pengalaman batin kita sehari-hari.
Kalimat itu sekarang terasa jauh lebih hidup. Ia bukan hanya ajakan untuk berbaik sangka. Ia adalah gambaran tentang bagaimana hidup ini—secara misterius namun nyata—ikut menjawab kualitas dalam diri kita.
Ini adalah spiritualitas yang aktif, bukan pasif. Berprasangka baik bukan hanya sikap, tapi mekanisme batin untuk membuka ruang kenyataan yang lebih baik.
Apa yang kita pikirkan dan sangkakan, bukan hanya memengaruhi cara kita melihat dunia—tetapi juga apa yang akan datang dalam hidup kita.
Seperti gema yang memantul kembali, kenyataan pun menjawab getaran batin kita.
Menata Pikiran: Latihan Mengatur Frekuensi
Kejernihan tidak datang dengan sendirinya. Ia perlu dilatih. Kita perlu sadar kapan prasangka kita sedang keruh, dan kapan ia perlu diluruskan.
Berikut adalah latihan kecil yang saya temukan sangat membantu:
- Jurnal Prasangka Pagi
Sebelum mulai hari, tulis satu-dua kalimat tentang bagaimana kamu memandang harimu. “Aku rasa hari ini akan berat” atau “Aku percaya akan ada kemudahan.” - Tafakur & Afirmasi Spiritual
Ketika merasa sempit, tarik napas perlahan, lalu ucapkan dalam hati: “Aku bersangka baik pada-Mu, ya Allah.” Lakukan sambil menyadari bahwa kalimat itu sedang mengubah gelombang di dalam dirimu. - Visualisasi Energi Positif
Bayangkan tubuhmu dipenuhi cahaya lembut. Lalu pancarkan cahaya itu ke sekeliling. Ini bukan ilusi. Ini adalah cara tubuh dan pikiran menyelaraskan diri dengan energi yang lebih terang.
Sangka adalah Doa yang Diam
Mungkin inilah rahasia kenapa dalam ajaran spiritual, prasangka disebut-sebut berulang kali.
Karena sangka bukan sekadar pikiran. Ia adalah doa yang diam. Bahkan ketika mulut tidak berucap, prasangka kita sudah bekerja. Dan semesta—melalui izin yang tak tampak—menjawabnya.
Kita tidak selalu bisa memilih takdir. Tapi kita bisa memilih dengan frekuensi apa kita menjalaninya. Dalam bahasa lain: kita bisa memilih dengan prasangka apa kita menyambutnya.
Hari ini, saat kamu membaca ini, coba tanyakan:
Apa sangkaku pada semesta hari ini?
Apa sangkaku pada hidup ini?
Apakah prasangkaku sedang membuka ruang, atau justru menutup cahaya yang hendak masuk?
Dari Dalam, Segalanya Dimulai
Yang kamu sangkakan,
adalah yang kamu getarkan.
Yang kamu getarkan,
adalah yang kamu temukan.
Dan mungkin,
itulah cara semesta,
menjawab kita.
#RuangDalam adalah ruang untuk menyelami diri. Untuk mendengar yang tak terdengar, dan mengenali getaran terdalam dari tubuh, pikiran, dan jiwa. Baca tulisan lainnya di sini.
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Komentari lewat Facebook