Jenewa, Techfin.id – Kesepakatan dagang terbaru antara Amerika Serikat dan China telah memberikan napas lega bagi banyak pelaku industri global, termasuk Tat Kei, pemilik pabrik manufaktur di Shenzhen.
Ia menyambut baik keputusan dua raksasa ekonomi dunia itu untuk menurunkan tarif secara signifikan dan menyebutnya sebagai bentuk “kewarasan” yang akhirnya kembali dalam hubungan dagang kedua negara.
Gencatan Senjata Tarif AS-China
Tat Kei yang menjalankan bisnis ekspor alat perawatan pribadi ke AS mengaku lega atas hasil perundingan yang berlangsung akhir pekan lalu di Jenewa, Swiss.
Menurutnya, keputusan ini menjadi titik balik penting bagi para pelaku bisnis yang selama ini terhimpit tarif tinggi.
Dalam kesepakatan tersebut, AS setuju memangkas tarif impor atas produk dari China dari 145 persen menjadi 30 persen. Sebaliknya, China akan menurunkan tarif untuk barang-barang dari AS dari 125 persen menjadi 10 persen.
Penurunan drastis ini akan diterapkan dalam jangka waktu 90 hari.
Delegasi AS dalam negosiasi itu dipimpin oleh Menteri Keuangan Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer.
Dari pihak China, Wakil Perdana Menteri He Lifeng memimpin pertemuan yang berlangsung di negara yang dikenal netral dan juga menjadi markas besar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Tarif Tinggi Sama dengan Embargo
Scott Bessent menyampaikan dalam konferensi pers bahwa tarif tinggi tak ubahnya seperti embargo perdagangan.
Ia menekankan bahwa tak satu pun pihak menginginkan situasi di mana aktivitas dagang kedua negara terhenti total.
Meski begitu, Bessent tetap menegaskan pentingnya hubungan dagang yang lebih seimbang dan berkelanjutan, serta menyampaikan harapan agar kesepakatan ini menjadi awal dari stabilisasi ekonomi global.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan China menilai bahwa langkah pengurangan tarif ini selaras dengan harapan pelaku usaha dan konsumen di kedua negara.
Pernyataan resmi mereka juga menyebutkan bahwa kesepakatan ini memiliki dampak yang lebih luas bagi ekonomi global, bukan hanya untuk AS dan China.
Retorika Memanas sebelum Kesepakatan
Sebelum perundingan di Jenewa membuahkan hasil, hubungan dagang kedua negara sempat memanas.
Wakil Menteri Luar Negeri China, Miao Miao Deyu, bahkan menyebut AS menggunakan tarif sebagai alat tekanan maksimum demi keuntungan sendiri.
Ia menuding pendekatan itu mencerminkan sikap unilateral dan proteksionis yang mengorbankan kepentingan negara lain.
Namun, hasil dari pertemuan di Swiss akhirnya berhasil menurunkan ketegangan yang sempat meningkat akibat perang tarif yang berlangsung selama beberapa bulan terakhir.
Respons Positif dari Pasar Keuangan
Langkah kompromi tarif AS-China ini langsung mendapat sambutan positif dari pasar keuangan global.
Indeks saham di berbagai negara mengalami kenaikan, seiring dengan optimisme bahwa ketegangan dagang mulai mereda.
Para pelaku industri menyambut baik kabar ini. Pasalnya, selama kebijakan tarif tinggi era Trump berlaku, banyak pelaku usaha seperti Tat Kei kehilangan pesanan akibat biaya yang melonjak.
Bahkan, sebagian dari mereka sempat mempertimbangkan relokasi produksi ke Asia Tenggara.

Asia Tenggara jadi Alternatif Produksi
Fenomena relokasi ini tak lepas dari strategi “China+1”, di mana perusahaan tetap mempertahankan sebagian operasi di China sambil memindahkan lini produksi ke negara lain, seperti Vietnam, Indonesia, atau Thailand.
Strategi ini dipicu oleh kenaikan biaya tenaga kerja di China dan keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada satu lokasi produksi.
Di sisi lain, negara-negara di Asia Tenggara aktif menawarkan berbagai insentif seperti zona ekonomi khusus, keringanan pajak, dan pembangunan infrastruktur untuk menarik investor asing.
Ini membuka peluang besar namun juga memunculkan tantangan baru, seperti ketimpangan sosial, tekanan lingkungan, dan risiko ketergantungan modal asing.
Dampak terhadap Inflasi dan Kebijakan Moneter
Penurunan tarif ini juga berpotensi meringankan tekanan inflasi. Barang-barang impor akan menjadi lebih murah, yang memungkinkan bank sentral di negara-negara seperti Indonesia, India, dan Filipina untuk memiliki ruang lebih luas dalam menetapkan kebijakan moneter.
Menurut Asia Times, pengurangan tarif ini dapat memperkuat kondisi domestik negara-negara berkembang karena tidak lagi terlalu terpengaruh oleh gejolak eksternal yang disebabkan oleh konflik dagang AS-China.

Rantai Pasok Global Mulai Stabil
Perang tarif yang berkepanjangan sempat menimbulkan gejolak dalam rantai pasok global.
Industri seperti semikonduktor di Taiwan, manufaktur elektronik di Korea Selatan, hingga produsen mesin di Jepang, semuanya terdampak akibat kenaikan biaya dan ketidakpastian produksi.
Dengan adanya jeda tarif selama 90 hari, pelaku industri kini memiliki waktu untuk menyesuaikan strategi produksi dan pengiriman.
Namun, tetap ada kekhawatiran karena belum ada mekanisme penegakan kesepakatan yang mengikat secara hukum.
Tantangan ke Depan: Konsistensi dan Komitmen
Walau hasil perundingan di Jenewa memberi sinyal positif, konsistensi implementasi menjadi hal yang patut diawasi.
Mengingat karakter Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, yang dikenal sulit diprediksi dan kerap menarik ucapan secara tiba-tiba, pelaku pasar tetap menjaga kewaspadaan.
Namun demikian, kesepakatan ini tetap dianggap sebagai sinyal positif bahwa AS dan China masih bisa berdialog demi menciptakan perdagangan yang lebih adil.
Lokasi perundingan di Jenewa juga memperkuat simbol kembalinya semangat multilateralisme dalam penyelesaian konflik ekonomi global.
Komentari lewat Facebook